Herbert Scheele 'Penjegal' Indonesia Pertahankan Gelar Thomas Cup
Pada edisi pagelaran Thomas Cup edisi ke 6 yang berlangsung di Tokyo, Jepang 1964, tim bulutangkis Indonesia sukses meraih gelar ketiga mereka.
Di final, perjuangan Ferry Sonneville dan kawan-kawan berbuah manis. Bertemu wakil Eropa, Denmark, Tan Tjoe Hock, Ferry Sonneville, Tan King Gwan, AP Unang, Tutang Djamaludin dan Ang Tjin Siang mampu mengandaskan perlawanan Erland Kops dan kawan-kawan dengan skor 5-4.
Tiga tahun setelahnya, Indonesia mendapat kehormatan jadi tuan rumah Piala Thomas edisi 1967. Bertempat di Jakarta, ada ambisi dari tim Thomas Indonesia untuk bisa pertahankan gelar mereka.
Masih diisi sebagian besar tim Thomas edisi 1964 plus pebulutangkis Rudi Hartono yang masih belia, Indonesia suskes melangkah mulus ke babak final.
Di final, Indonesia bertemu musuh bebuyutan, tidak hanya di arena olahraga namun juga arena politik, Malaysia. Laga final yang berlangsung di Istora Senayan, Jakarta tidak hanya soal ambisi pertahankan gelar namun juga pertaruhan harga diri bangsa bermuatan politis.
Memiliki semangat berlebih, tim Thomas Indonesia bermain mati-matian demi memuaskan khalayak umum yang memadati Istora Senayan. Sayang harapan dibayar dengan rasa sesal berkepanjangan publik tanah air.
Mengapa? sosok wasit kehormatan, Herbert Scheele jadi penyebabnya. Siapa dia dan apa yang ia lakukan di babak final tersebut? berikut mengenal lebih dekat Herbert Scheele, penjegal harapan pecinta bulutangkis Indonesia:
1. Tokoh bulutangkis Inggris
Lahir dengan nama lengkap Herbert Agustus Edward Scheele, Scheele sangat dihormati oleh dunia bulutangkis Inggris. Pria kelahiran Bromley pada 1905 ini pernah menjabat sebagai sekretaris IBF pada 1938 hingga 1976. Sebelum mengemban jabatan penting tersebut, Scheele memang sempat jadi pebulutangkis namun tidak lama, alasannya perang dunia II melanda Eropa.
Selesai perang, Scheele tidak melanjutkan karir bulutangkisnya, ia justru lebih tertarik untuk berkarir di administarasi bulutangkis Inggris. Ia pun mendapat jabatan penting pada 1945 di federasi bulutangkis Inggris.
Soal torehan untuk bulutangkis dunia, nama Scheele tidak usah diragukan lagi. Ia salah satu penggagas diadakannya turnamen Piala Thomas dan Piala Uber. Selain itu, ia juga menjadi salah satu tim penyusun aturan perdana bulutangkis. Atas usahanya menyusun aturan tersebut, bulutangkis sukses dimainkan di turnamen Olimpiade pada 1972.
2. Penulis
Selain berkecimpung di dunia bulutangkis, Scheele juga tercatat sebagai sedikit pemerhati bulutangkis yang doyan menulis. Selain itu, Scheele juga tercatat sebagai penulis beberapa buku nonfiksi.
Malah saat mengemban sejumlah jabatan penting di federasi bulutangkis, Scheele tetap meluangkan waktu sebagai editor di Badminton Gazette, sebuah jurnal bulutangkis yang terbit pada 1946 hingga 1970.
Selain disana, ia juga jadi editor untuk sebuah jurnal bulutangkis dunia yang terbit pada 1972. Menariknya, Scheele tidak hanya menulis bulutangkis, pada 1946 saat ia menjabat sebagai sekretaris federasi bulutangkis Inggris, Scheele pernah menjadi salah satu tim penulis buku pegangan resmi olahraga kriket.
3. Pemuja sportivitas
Sebelumnya nama Scheele mungkin tidak terlalu dikenal oleh pecinta bulutangkis tanah air, sampai akhirnya pria yang mendapat gelar bangsawan dari Ratu Inggris itu begitu melekat di ingatan publik tanah air.
Kisah itu berawal dari turnamen Piala Thomas 1967. Saat itu, Scheele bertugas sebagai wasit kehormatan. Kala itu memang Istora Senayan disesaki oleh pecinta bulutangkis tanah air yang sangat bernafsu untuk menonton.
Maklum saja selain ambisi untuk mempertahankan gelar, lawan yang dihadapi juga bukan negara sembarangan, Malaysia. Aroma politis tercium betul di laga final kala itu. Fakta menyebutkan, perasaan emosi meledak-ledak, khas fans Indoneia makin tidak terkontrol.
Ditambah dengan permainan tim Thomas Indonesia yang buruk kala itu, suasana riuh bercampur dengan teriakan kotor dan makian membuat suasana Istora Senayan kala itu makin tidak kondusif.
Di posisi 3-4 untuk Malaysia, Indonesia nyaris mengejar angka Harimau Malaya. Mulyadi/Agus Susanto yang menghadapi Ng Boon Bee/Tan Yee Khan membuka peluang tersebut. Kondisi inilah yang membuat para penonton makin bersemangat dan ikutan ngotot. Teriakan cemoohan yang menggangu konsentarsi lawan pun mewarnai jalan pertandingan, makin tidak terkontrol.
Scheele lalu meminta penonton dikeluarkan dari arena pertandingan. Karena ditolak oleh pihak PBSI, Scheele dengan segala wewenangnya menyatakan Indonesia kalah 6-3. Hasil ini sangat membekas untuk publik tanah air.
Scheele usai laga mengatakan bahwa keputusannya memenangkan Malaysia karena penonton sangat tidak menghargai nilai sportivitas. Sehari setelah meninggalkan Jakarta, di Selandia Baru, ia mengatakan kepada pers bahwa keputusannya menghentikan pertandingan tersebut karena penonton Indonesia mengancam akan "membunuh" pemain-pemain Malaysia.
4. Sosok angkuh
Karakter Scheele yang berasal dari Kerajaan Inggris begitu kental terasa di laga final Thomas Cup 1967. Ia begitu angkuh dan sombong.
Saat suasana begitu gadung dan makin tak terkontorol, Scheele mulai gelisah dan terlihat mondar-mandir, sementara para penonton terus meneror dengan nyanyikan Lagu "Indonesia Raya", "Halo-Halo Bandung", dan teriakan "Hidup!"
Hingga pada akhirnya, keangkuhan benar-benar dipertontonkan, tangan kiri Scheele berkecak pinggang, tangan kanannya melambai ke tribun kehormatan. Mungkin maksudnya memanggil Ketua PBSI saat itu, Padmo Sumasto.
Ia pun tanpa merasa bersalah langsung menghentikan laga antara Mulyadi/Agus versus Boon Bee/Yee Khan dan mendatangi mereka yang bertanding tanpa menghiraukan keberadaan wasit yang memipin laga, Tom Bacher dari Denmark.