Bahkan Ajax Amsterdam Pernah Takluk di Stadion Teladan
StadionTeladan masih berdiri tegar menghadang bias sang mentari. Dibalut ragam warna mentereng dan jejeran kursi yang berkeliling rapi, masih terdengar sisa riuh gemuruh sahutan dari ribuan penonton fanatiknya.
Masih terasa sesekali kekecewaan yang menghiasi raut wajah penuh keringat. Apalagi saat tim kesayangannya gagal melesakan si kulit bundar mengoyak dan menjelajahi jaring yang tersimpul sama sisi.
Bahkan, masih tersisa gema kalimat berirama yang terus mengalir menemani perjuangan para gladiator-gladiator terpilih saat mengeksekusi lawan tanpa ampun.
Sepintas, inilah kenangan yang hadir saat pikiran menjelajah dan larut dalam sisa pemandangan sekitar 60 tahun silam. Kisah yang disadur ulang lewat memori yang tersimpan lama di dalam kepala itu seakan berusaha mengingat dan mengisahkan kembali kekejaman PSMS terhadap tamu mereka.
Tak jarang, setiap tamu yang bertandang akan menjadi korban keganasannya. Sampai-sampai julukan The Killer melekat erat di massanya.
1. Hikayat 'Sang Pembunuh' dari Mata 'Si Kepala Emas'
Sepenggal kisah kekejaman PSMS bukanlah dongeng dalam tribun. Tak hanya klub lokal, bahkan beberapa klub besar eropa menjadi korban taji si Ayam Kinantan julukan lain PSMS.
Tentu saja, siapapun yang mendengar nama PSMS saat itu akan gentar akan keangkerannya. Kisah inilah yang coba dirunut dan dijabarkan sang eksekutor bernama Tumsila.
Berposisi sebagai penyerang, kehadirannya selalu menjadi momok bagi lawan. Bahkan, gol-gol indahnya yang sering tercipta lewat kepala membuat dirinya mendapat julukan 'Si Kepala Emas'.
Bagaimanakah riwayat Stadion Teladan yang terkesan angker dan sejalan dengan masa kejayaan emas PSMS, Tumsila coba mengisahkannya kepada INDOSPORT saat ditemui di Mess Kebun Bunga Medan, Selasa (09/05/17).
Pemain era 1967 ini bertutur bahwa PSMS sejak era 1950 telah mengawali fase kebangkitan. Beberapa klub Eropa yang bertandang dalam laga persahabatan selalu menjadi korban kekejaman mereka hingga akhirnya sematan The Killer menjadi julukan PSMS kala itu.
"Cukup disegani di era 50-an tapi sayangnya untuk kejuaraan yang digelar PSSI dari PSMS terbentuk 1950 hingga 1964 dalam keikutsertaannya mereka belum merasakan juara," sebut Tumsila.
Namun, Tumsila mengisahkan bahwa di era tersebut setidaknya dua kali PSMS lolos ke final Piala Perserikatan. Ketika itu skuatnya diperkuat dua bersaudara Ramli dan Ramlan Yatim serta Yusuf Siregar.
Sayang kejayaannya cepat terbenam. Pada 1964 PSMS menerima kenyataan pahit menjadi juru kunci.
Hingga akhirnya, kejuaran terhenti pada tahun 1965 akibat gejolak politik di tahun tersebut. Dua tahun kemudian nama PSMS kembali harum.
Aroma kemenangan kembali menyengat. Gelar nasional dan internasional pun direbut secara beruntun.
Itu tak lama setelah Tumsila, Roni Pasla, Sarman Pangabean, dan Rudi Siregar bergabung bersama tim PSMS senior setelah sebelumnya mereka berhasil membawa PSMS junior menjuarai Piala Soeratin.
"Usai membawa PSMS junior juara Piala Soeratin, pada tahun yang sama kami berempat dipercaya gabung bersama tim senior. Saat itu kami langsung menjuarai Piala Perserikatan," kenangnya.
"Tak cuma itu saja, PSMS yang saat itu mewakili PSSI juga merebut juara di Pakistan Timur dalam event Agha Khan Gold Cup (Daka) 1967. Di final kita menghadapi klub Muhammadan dari Pakistan dan berhasil menang dengan skor 2-0," sambung Tumsila yang mengaku menjadi penyumbang dua gol dalam laga final tersebut.
PSMS pun menjelma menjadi tim yang sulit terkalahkan. Tiga edisi Piala Perserikatan direbut secara berurutan. Alhasil Piala PSSI yang digelar dua tahunan itu abadi menjadi milik PSMS pada periode tahun 1967,1969, dan 1971.
2. Magis Stadion Teladan Telan Tamu Jauh
Prestasi demi prestasi terus mengalir ke Medan yang menjadi rumah PSMS. Seiring melambungnya nama PSMS, sejumlah klub luar negeri merasa terpanggil menjajal kehebatannya.
Klub sekelas Ajax Amsterdam pun sempat datang dan merasakan aura magis Stadion Teladan. Dalam ajang laga persahabatan yang digelar pada tahun 1975 tersebut, Ajax sukses dibantai 4-2.
"Lawan Timnas dan klub lain mereka menang. Tapi saat lawan PSMS mereka keok 4-2. Saya lupa nama timnya tapi saya gak lupa kalau saat itu saya menyumbangkan dua gol," ujarnya dengan tersenyum.
Masih terngiang di benak Tumsila saat mereka juga menumbangkan tim kuat asal Austria, Voetslin. Skor akhir 4-2 dan sumbangan dua golnya saat itu membuat Tumsila diminati pelatih lawan.
Beruntung PSMS menolak pinangan lawan. Tumsila pun tetap dipercaya sebagai kreator serangan PSMS.
Tak cuma jago kandang, di luar pun PSMS tetap menunjukkan tajinya. Terbukti pada 1970 Tumsila dkk masuk 4 besar dalam kejuaran internasional yang dihelat di Iran.
1972 prestasi membanggakan kembali diukir. Mewakili nama Indonesia, PSMS berhasil menjadi finalis Piala Presiden di Korea.
"Saat itu lawan kita adalah timnas dari berbagai negara. Sayang kita kalah dari Timnas Korea selaku tuan rumah dengan skor 2-1. Meski saya sampat menyumbang gol untuk menyamakan kedudukan 1-1. Tetap saja di akhir kita kalah," ujarnya yang mengaku bangga dengan pencapaian PSMS saat itu.
Prestasi lain yang tak kalah pamor adalah Marahalim Cup. Pertama digelar pada 1972 dan diikuti tim lokal, PSMS menjadi kampiun.
Berlanjut 1973, peserta kian bertambah termasuk tim kuat dari berbagai negara seperti Thailand, Birma (Myanmar), Korea, Jerman, Jepang, dan Korea. Lagi-lagi PSMS membawa nama harum Indonesia dengan merebut juara setelah mengalahkan Jepang di final lewat adu penalti.
3. Mengejar Harapan Mengembalikan Kejayaan
Kejayaan PSMS terus berlanjut di Era 80-an. Di bawah komando sang kapten, Sumardi A, PSMS kembali merengkuh Piala Perserikatan pada 1983 dan 1985.
Bahkan ingatan tentang final Piala Perserikatan di tahun 1985 menjadi salah satu yang mengisi dompet sejarah sepakbola nasional. PSMS yang turun gelanggang untuk bersua Persib Bandung memecahkan rekor jumlah penonton.
Laga yang digelar di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) ini dihadiri setidaknya lebih dari 106 ribu orang. Meski banyak pihak yang menyatakan bahwa jumlah penonton lebih dari angka ini, tapi panitia memastikan bahwa 106 ribu tiket yang dicetak habis diborong.
Bahkan penonton yang membludak membanjir hingga tepi lapangan. Laga sengit ini kemudian dimenangkan PSMS lewat drama adu penalti.
Hanya saja, Sumardi mengaku usai 1985, PSMS tak pernah lagi merasakan menjadi kampiun.
"Saat itu format kompetisi berganti menjadi Liga atau Galatama. Sejak saat itu kita tidak pernah lagi merasakan juara sampai saat ini," sebut Sumardi A.
Teranyar, prestasi membanggakan hadir pada 2015. Di mana saat itu PSMS berhasil merebut juara Piala Kemerdekaan.
Praktis, kesan angker Stadion Teladan kian memudar seiring berjalannya waktu. Mengembalikan masa keemasan PSMS selayknya 60 tahun silam kini ada di pundak Legimin Rahardjo dan kolega.
"Kita berharap PSMS bisa bangkit lagi dan disegani tim-tim lawan," ungkap dua legenda yang memiliki rekam jejak membanggakan ini.
Bukan pekerjaan mudah memang. Langkah awal tentunya mengembalikan PSMS kembali ke jalurnya di kasta tertinggi.
Ya, penantian panjang dan kerinduan itu kian bersemi dan tersirat jelas dari pancaran wajah para legenda PSMS.
Semoga saja, tiga kemenangan beruntun di awal Liga 2 beberapa waktu lalu mampu mengembalikan kesan angker Stadion Teladan yang hampir sirna ditelan zaman.