x

Potensi Suporter Bisa Angkat Klub Indonesia Mendunia

Kamis, 15 Juni 2017 22:55 WIB
Editor: Rizky Pratama Putra
Suporter Timnas Indonesia.

Liga Super Indonesia (LSI) menjadi tonggak perdana kompetisi profesional di Indonesia pada tahun 2008 silam. Gaung LSI menjawab tantangan awal bagi semangat sepakbola ke arah yang lebih tertata.

Sejak dimulainya era baru kompetisi sepakbola nasional ini, sejumlah klub berupaya untuk bisa bertahan hidup. Pasalnya, klub peserta kompetisi utama nasional adalah warisan dari klub-klub yang berlaga di kompetisi perserikatan.

Aturan utama yang menjadi senjata mematikan klub tersebut adalah perihal anggaran. Regulasi baru menyebut bahwa setiap klub tak boleh lagi meminta 'ASI' dari kas daerah.

Baca Juga:

Padahal, sebelumnya klub-klub Indonesia terbiasa disuapi dengan anggaran yang dikeluarkan pemerintah daerah. Bagi klub warisan perserikatan tentu saja regulasi ini bisa menjadi kiamat kecil bagi mereka.

Tapi tunggu dulu, meski megap-megap di awal kompetisi, nyatanya Badan Liga Indonesia (BLI) selaku operator kompetisi mengaku mendapat laba cukup besar. Dilansir dari Tempo.co, BLI menyatakan mendapatkan untung dari penyelenggaraan kompetisi di tahun pertamanya sebesar Rp15 miliar.

Kisah Mula Asa Profesionalnya Liga di Indonesia

Gaung sepakbola yang tengah memasuki musim semi melalui kompetisi kian menggema di seluruh penjuru negeri. Meski demikian, sejumlah klub tetap mengaku 'kalah' dalam operasional mereka.

LSI 2013 menjadi kompetisi terburuk dalam pelaksanaannya. Musim tersebut adalah masa di mana kompetisi baru di mulai.

Sebelumnya, sempat terjadi dualisme kompetisi pada tahun 2012, dengan adanya Liga Primer Indonesia (LPI) di bawah naungan PSSI dan LSI yang tetap berjalan di bawah naungan Komite Penyelamat Sepakbola Indonesia (KPSI).

Usai badai berakhir, LSI pun kembali menjadi wadah kompetisi yang sah di Tanah Air. Namun belakangan, operator mengeluhkan kerugian yang diterima saat itu.

Dilansir dari laman PT Liga Indonesia, saat itu LSI merugi hingga Rp23 miliar di akhir kompetisi. Transisi kompetisi dan kepengurusan baru kemudian menjadi alibi dari kerugian tersebut.

Tidak berlangsung lama, kompetisi kembali mendapatkan angin segar pada penyelenggaraan tahun berikutnya. 22 tim yang berlaga menyajikan kompetisi yang berformat 2 wilayah.

Joko Driyono saat masih menjabat sebagai Dirut LSI.

Kali ini, pemerataan hak siar dan pengelolaan yang lebih baik membawa keberkahan tersendiri. Dikutip dari laman PT Liga Indonesia, LSI tahun 2014 ini mereguk untuk hingga mencapai Rp 27 miliar di akhir musim.

Penyelenggaraan LSI di tahun 2014 sendiri menjadi kompetisi resmi terakhir di Indonesia. Pada tahun 2015 sendiri, kompetisi sempat berjalan namun dihentikan oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora).

Intervensi negara ini kemudian berbuah sanksi dikucilkannya Indonesia dari sepakbola dunia. FIFA sebagai 'ayah' dari organisasi sepakbola di seluruh dunia mencekal aktivitas sepakbola Indonesia selama setahun kemudian.

Komponen yang Tertinggal

Jika saja dilihat bagaimana perjalanan sebuah harapan sepakbola sebelumnya, hanya ada satu masa di mana operator liga menderita kerugian. Meski terengah-engah di tengah perjalanan, sejumah klub mampu beradaptasi untuk mencari dana secara mandiri untuk berkompetisi.

Lihat saja bagaimana Persib Bandung saat berlaga di musim 2014 lalu. Seragam yang mereka gunakan penuh sesak dengan perusahaan yang membantu operasional mereka.

Lancarnya pemasukan bisa saja menjadi 70 persen cikal prestasi yang bakal diraih. Berbekal dana melimpah dari sponsor, Persib kemudian mampu meramu skuat hebat.

Implikasinya pun berlanjut pada performa mereka di liga. Persib pun mampu menjadi keluar sebagai juara edisi terakhir Liga Super Indonesia pada musim 2014 lalu.

Skuat Persib Bandung saat menjawarai Liga Super Indonesia 2014.

Performa stabil tentu saja akan bermuara pada kualitas penyaksi laga. Menurut data dari Juara.net, Persib bersaing dengan Persija soal urusan penonton laga mereka di stadion.

Persib total ditonton oleh 110.743 penonton selama mereka berlaga di musim 2014. Artinya, Persib disaksikan langsung oleh rata-rata 22.149 orang dalam setiap laga mereka di LSI.

Jumlah ini tentu saja menjadi nilai sepadan bagi sebuah investasi dalam sepakbola. Gairah tinggi dan antusiasme serta militansi pendukung tidak terjadi dengan sendirinya.

Domino ini menjadi trias aspek bagi sebuah klub dalam menjalankan roda usaha mereka. Lalu, mengapa masih ada klub yang masih belum menjadikan suporter sebagai mitra kerja mereka dalam menjalankan kompetisi?

Belajar Bisnis dari Setan Merah

Musim lalu akan menjadi momentum tak terlupa bagi para penggila Manchsester United di seantero dunia. Begini ceritanya;

Musim panas 2012, adalah hari paling sial pada dekade ini. Sir Alex Ferguson menjual Paul Pogba ke Juventus pada saat itu.

Fergie tak menyangka bahwa hal tersebut menjadi blunder keduanya setelah merelakan Cristiano Ronaldo ke Real Madrid, 3 musim sebelumnya. Pogba sukses tumbuh dan berkembang menjadi gelandang kelas wahid di Juventus.

Hanya dalam 2 musim, Pogba sanggup menjadi sosok tak tergantikan di lini tengah sang penguasa Italia. Hebatnya lagi, Pogba melakukannya di saat usianya memasuki 20 tahun!

Paul Pogba didatankan Man United dengan predikat sebagai pemain termahal di dunia.

Ironi ini cukup mendalam baginya, yang tak sekalipun mendapat kesempatan untuk menunjukkan kemampuan terbaik di skuat utama Setan Merah. Padahal, Sir Alex menyimpan harapan tinggi saat mendatangkannya dari Le Havre pada tahun 2009 silam.

Nasi telah menjadi bubur. Pogba remaja telah tumbuh menjadi pemuda yang bergelimang prestasi dan kemampuan sempurna di Italia.

Pun saat Man United menginginkan Pogba kembali, mereka harus membeli keladi yang dijualnya seharga berlian mewah. Setan Merah pun harus merelakan dana sebesar 105 juta Euro (Rp1,5 triliun) untuk menebus Pogba dari Juventus.

Dana tersebut belum termasuk 5 juta euro (Rp74,3 miliar) lainnya untuk urusan administrasi dan tetek-bengek transfer. Pogba pun resmi menjadi manusia termahal di dunia dalam urusan bermain sepakbola.

Apakah Man United bodoh karena pembelian gila ini? Nanti dulu...

Investasi ini tentu tidak disetujui secara serampangan oleh Ed Woodward sebagai pelaksana manajerial Setan Merah, di bawah kepemimpinan Malcom Glazer, tidak mungkin urusan utak-atik nilai semudah itu diketok palu.

Komponen pemasukan bagi sebuah klub sepakbola sendiri mengacu pada 3 hal, yakni matchday, broadcasting, dan commercial. Dari sisi itu, Pogba memiliki sejumlah potensi sebagai sumber pendapatan utama Setan Merah.

Paul Pogba tampak semangat dengan membawa trofi Liga Europa musim 2016/17 usai kalahkan Ajax Amsterdam.

Man United sadar bahwa secara usia, Pogba masih baru membuka jendela puncak prestasi. Pada usianya yang ke-21, Pogba telah bermental juara dengan torehan 4 scudetto Serie A Italia, 2 Coppa Italia, dan 2 gelar Super Coppa Italia.

Hal ini tentu saja menjadi poin pertama dalam urusan kualitas soal dirinya sedemikian berharga. Terbukti, meski belum memberikan gelar pada musim pertamanya, Pogba sanggup membawa Man United berjaya di Liga Europa.

Sesuatu yang sudah lama didambakan para Manchurian, sebutan bagi pendukung Man United, selama ini. Lalu apakah prestasi menjadi ukuran utama?

Simak saja data dari TotalSPORTEK yang menyebut bahwa penjualan jersey pemain asal Prancis ini memuncaki daftar terlaris di Liga Primer Inggris. Total penjualan jersey Pogba masuk dalam 3 besar terlaris di bawah Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo.

Meski tidak disebut secara utuh berapa nominal total penjualan jerseynya, tapi Adidas, selaku pemegang apparel Man United sempat melansir bahwa pada 3 pekan awal, jumlah penjualan seragam bernomor dan nama Pogba menyentuh angka 190 juta pounds (Rp2,85 triliun).

Jersey Paul Pogba di Manchester United.

Mencengangkan bukan? Tapi itu tidak lebih penting dari fakta bahwa sebenarnya Man United tidak membeli Pogba.

Pogba sendiri lah yang membeli dirinya sendiri melalui penjualan jersey-nya. Bahkan sudah memberikan untung bagi sang majikan, walau pun belum bermain secara resmi bagi Man United!

Pogba bahkan langsung tancap gas dengan menggeser Zlatan Ibrahimovic dalam 'memperkaya' pundi Setan Merah. Tentu saja magnet inilah yang menjadi ide awal investasi gila klan Glazer dalam memboyong Pogba kembali ke rumah.

Suporter Adalah 'Koentji'

Lalu apa kaitannya dengan aktivitas kompetisi di Indonesia. Bukankah Man United lebih dahulu mapan secara finansial dibanding sejumlah klub yang harus bertahan hidup di kompetisi nasional dengan napas 'Senin-Kamis'?

Secara logika mungkin saja premis sederhana tersebut masuk akal. Tapi secara semangat dan ruh pola pengelolaan, Man United bisa menjadi role models bagi insan sepakbola nasional.

Bagaimana sinergisitas klub dan suporter menjadikan panji kebanggaan mereka berdaya. Secara harfiah, prestasi bisa dibangun dengan kesepahaman soal membangun mindset memajukan klub secara bersama-sama.

Bobotoh merupakan salah satu suporter dengan loyalitas tinggi di Indonesia.

Suporter adalah pendukung utama, jika tak ingin disebut sebagai subjek pasar, untuk membangun klub. Pola merchandise atau penjualan pernik bernuansa klub pun bisa diraup sebagai bagian dari sumur pendapatan demi prestasi yang niscaya.

Mari tengok data lain soal total penyaksi sepakbola di stadion, musim lalu. Geliat Torabika Soccer Championship (TSC) 2016, yang notabene kompetisi unofficial Tanah Air bisa menjadi tolak ukur.

Persija Jakarta misalnya. Klub ibu kota ini memiliki pendukung loyal yang kerap setia menyaksikan laga klubnya.

Pun saat Persija menjadi musafir karena tak memiliki kandang, di putaran kedua turnamen tersebut. Menurut data yang dilansir dari PT Gelora Trisula Semesta (PT GTS), selaku operator turnamen, laga kandang Persija Jakarta ditonton oleh rata-rata 43 ribu orang.

The Jakmania kerap memenuhi stadion tiap kali Persija berlaga.

Jumlah ini nyaris memenuhi kapasitas Juventus Stadium, yang merupakan kandang dari Juventus. Loyalitas inilah yang bisa menghidupkan klub jika tahu benar bagaimana mengelola dan menjaga hubungan baik dengan para pencintanya.

Jika sudah masuk dalam trek yang tepat, bukan tidak mungkin sepuluh tahun ke depan, Indonesia memilki klub dengan kemapanan finansial yang bisa menyaingin negara-negara dengan industri sepakbola yang lebih maju. Lupakan Eropa, tengoklah Indonesia, karena gairah suporter nasional adalah koentji!

Manchester UnitedPersib BandungPaul PogbaSuporterLiga IndonesiaLiga 1Suporter Berdaya

Berita Terkini