Jelmaan Kolonel Hannibal Smith The A-Team dalam Diri Robert Rene Alberts
FOOTBALL265.COM - "Give me a minute, I'm good. Give me an hour, I'm great. Give me six months, I'm unbeatable." Bagi Sobat INDOSPORT penikmat film action Hollywood barangkali tak asing lagi dengan petikan kalimat tersebut.
Kalimat itu diutarakan oleh Kolonel Hannibal Smith yang notabene tokoh sentral dalam film The A-Team versi 2010. Pemeran karakter tersebut adalah aktor laga kawakan tersohor asal Irlandia Utara, Liam Neeson.
Neeson a.k.a Kolonel Hannibal Smith berkata demikian dalam suatu adegan di saat dirinya sedang berusaha memulihkan nama baik dengan melacak musuh bebuyutannya dalam kondisi ditahan dan tengah menghuni kompleks penjara berkategori level keamanan maksimal.
Dengan segala keterbatasan waktu dan informasi di dalam penjara saja Hannibal bisa menemukan lokasi detail musuhnya, apalagi kalau dia berada di luar penjara dan diberi akses seluas-luasnya oleh militer Amerika Serikat tempat ia bekerja sebelum dijebak lalu dijebloskan ke balik jeruji besi.
Sebuah pesan moral dapat dipetik dari sosok Hannibal dalam film The A-Team, bahwa segala sesuatu dalam kehidupan ini membutuhkan proses untuk mencapai tujuan utama berupa kesuksesan. Semakin panjang suatu proses tentu akan berujung kepada hasil yang maksimal.
Salah satu aspek kehidupan yang bisa memetik pelajaran dari Hannibal Smith adalah sepak bola. Belakangan, banyak klub, terutama manajemen yang berisikan pengusaha atau taipan tajir melintir, ingin mencapai kesuksesan secara instan tanpa mau menunggu lama.
Dampak buruk dari keinginan meraih kesuksesan secara instan tentu saja mengarah kepada garda terdepan yang dianggap paling bertanggung jawab terhadap kegagalan sebuah klub sepak bola. Siapa lagi kalau bukan pelatih.
Tidak perlu jauh-jauh mencari acuan ke luar negeri, cukup menengok klub-klub Indonesia, salah satunya Persib Bandung yang baru-baru ini melakukan perombakan dengan mencopot Miljan Radovic dan mengumumkan Robert Rene Alberts sebagai nakhoda baru.
1. Antara Kesabaran dan Tuntutan Prestasi
Tidak bisa dipungkiri bahwa kegagalan Radovic di Piala Presiden 2019 adalah pemicu keputusan manajemen mencopotnya. Persib yang berstatus tuan rumah fase grup tak bisa berbuat banyak lantaran kalah bersaing dengan Tira-Persikabo dan Persebaya Surabaya.
Radovic memang diketahui sudah cukup lama mendapat tekanan dari para pendukung Persib (Bobotoh) sejak ditunjuk pada akhir tahun lalu. Dia diragukan bisa mengangkat prestasi klub karena dinilai masih minim pengalaman melatih di tingkat senior.
Secara permainan, Radovic juga dianggap gagal mengeluarkan potensi terbaik pemain-pemain Persib. Penghakiman Bobotoh kepada pria asal Montenegro ini kian menjadi-jadi setelah timnya secara mengejutkan tersingkir dari Piala Presiden 2019.
Lantas, adilkah menilai kualitas Radovic hanya dari ajang pramusim seperti Piala Presiden? Toh dia masih mampu mempertahankan Persib dalam kompetisi resmi bertajuk Kratingdaeng Piala Indonesia 2018/19 yang kini sudah memasuki fase perempat final.
Keadilan seperti ini tentu bukan urusan manajemen, terlebih klub raksasa sekaliber Persib yang memang terkenal tidak terlalu sabar terhadap kinerja pelatih, apalagi pelatih tersebut berlabel asing. Sejarah membuktikan bahwa Maung Bandung kurang ramah terhadap juru taktik bule.
Di era Liga Indonesia, hanya Juan Paez (2004) dan Roberto Mario Carlos Gomez (2018) yang bisa bertahan sampai akhir musim, di luar itu selalu dilengserkan sebelum kompetisi mencapai finis, termasuk Arcan Iurie (2007) dan Drago Mamic (2012).
Padahal, deretan pelatih asing berdurasi singkat di Persib belum tentu tidak bisa menghadirkan prestasi tinggi andaikan manajemen lebih sabar menunggu. Tapi apa mau dikata, tuntutan prestasi klub besar dalam era sepak bola modern sudah menjadi sebuah keharusan.
Padahal, bisa saja seorang pelatih belum bisa memenuhi target juara di satu periode karena ia sedang membangun fondasi tim yang nantinya akan membuahkan masa depan cerah serta indah pada waktunya.
2. Fondasi Masa Depan Persib di Tangan Robert?
Bagaimana dengan Robert Rene Alberts? Apakah pelatih berkebangsaan Belanda tersebut akan bernasib serupa dengan para pendahulunya? Atau justru sebaliknya, menjadi pelatih asing pertama yang mengantarkan Persib ke podium juara Liga Indonesia?
Robert diketahui telah meneken kontrak berdurasi dua tahun plus opsi perpanjangan setahun bila dianggap sukses di Persib. Komentarnya di sesi perkenalan, Jumat (3/5/19) kemarin, benar-benar penuh keyakinan bahwa dirinya akan bertahan lebih dari semusim di Bandung.
"Kami akan mengembangkan pemain yang ada. Kami terlalu cepat jika mengubah komposisi pemain sekarang. Kami baru akan melihat di level selanjutnya pada musim mendatang," kata Robert.
Menilik rekam jejak sewaktu melatih PSM Makassar selama 2,5 musim (termasuk paruh musim ISC A 2016), Robert diberi keleluasaan untuk membangun tim, bahkan mempersiapkan fondasi masa depan seiring keterlibatan di akademi klub (U-16 dan U-19).
Manajemen dan suporter PSM bahkan tidak uring-uringan dan menunjuk Robert sebagai biang kerok kegagalan menjuarai Liga 1 2017. Mereka batal juara meski sempat menguasai puncak klasemen selama berpekan-pekan sebelum disalip Bhayangkara FC di tikungan terakhir.
Buntutnya, PSM harus puas menduduki urutan ketiga klasemen akhir Liga 1 2017 di bawah Bhayangkara dan Bali United. Apa yang dilakukan manajemen PSM? Bukan mendepak Robert, melainkan mendukung penuh sang pelatih yang sudah mengantongi fondasi tim.
Semusim berselang, PSM lagi-lagi mendominasi papan atas Liga 1 2018. Mereka hampir juara sebelum ditikung Persija Jakarta, tapi prestasi klub mengalami peningkatan dengan menempati posisi runner-up serta menyabet tiket Piala AFC.
Sayang, kebersamaan Robert dan PSM mesti berakhir di pengujung 2018 karena alasan non-teknis. Dia boleh saja tidak lagi menukangi Marc Klok dkk., tapi warisan berupa fondasi tim kini bisa dinikmati oleh penggantinya, Darije Kalezic.
3. Tergantung Manajemen dan Bobotoh
Seperti Hannibal Smith yang sempat disinggung di awal tulisan, dia merupakan tipe orang yang berpegangan terhadap proses. Tergantung seberapa panjang Robert mendapatkan waktu dari manajemen klub di tempat ia bernaung.
Di PSM, Robert meningkatkan prestasi klub setahap demi setahap bila ditarik dari keputusan manajemen Juku Eja mengontraknya di tengah kompetisi Indonesia Soccer Championship (ISC) A 2016. Dia mampu mengangkat tim ke papan atas setelah sempat terpuruk di papan bawah.
Pencapaian Robert mendapatkan apresiasi tinggi di pengujung musim dengan ganjaran penghargaan Pelatih Terbaik ISC A 2016. Dari sini sentuhannya mulai terlihat, hingga kemudian mempertahankan posisi PSM di papan atas klasemen akhir Liga 1 selama dua musim terakhir.
Di usia yang kini menginjak 64 tahun, paling tua di kalangan pelatih klub Liga 1 2019 lainnya, Robert terkesan jauh lebih matang daripada ketika meraih titel juara Liga Super Indonesia (LSI) 2009/10 bareng Arema Malang.
Satu dekade silam, Robert belum bisa disamakan dengan Hannibal Smith karena dia diberi modal materi pemain yang bertabur bintang ketika itu. Berbeda dengan kondisi compang-camping PSM di tengah kompetisi ISC A 2016.
Kini, Robert merebahkan dirinya di Persib yang terkenal tak sabaran dalam menanti prestasi. Akankah manajemen Maung Bandung bisa menahan diri dari "godaan" memecat pelatih andaikan benar ia lebih condong membangun fondasi tim ketimbang mengejar prestasi musim ini?
Ada satu kalimat mutiara yang cukup terkenal, yaitu hasil tidak akan mengkhianati proses. Beri Robert waktu semusim, dia bagus, Beri dua musim, dia hebat, beri tiga musim, dia tak terkalahkan.
Pertanyaan besarnya, bisakah kalian bersabar wahai manajemen Persib dan Bobotoh?
Serunya Nge-Vlog Bareng Manusia Tercepat Indonesia
Ikuti Terus Perkembangan Sepak bola Indonesia dan Olahraga Lainnya Hanya di INDOSPORT