Lukaku dan 'Penghormatan' Absurd ala Ultras Liga Italia
FOOTBALL265.COM - Bomber anyar Inter Milan, Romelu Lukaku, baru-baru ini mendapat perlakuan rasis saat membela timnya melawan Cagliari, Minggu (01/09/19).
Tandang ke markas Cagliari di Sardegna Arena pada pekan kedua Serie A Italia, Lukaku bermain sejak menit awal dan turut mencetak gol kemenangan pada menit ke-72 melalui titik penalti.
Namun siapa sangka, sesaat sebelum mengeksekusi penalti, Lukaku jadi sasaran hinaan fans Cagliari. Dilansir dari Sky Sports, suporter tim tuan rumah menirukan suara-suara monyet ke penyerang asal Belgia tersebut.
Tidak ada respons khusus dari Lukaku, kecuali dirinya yang berhasil mencetak gol untuk kemenangan Inter Milan 2-1.
Romelu Lukaku pun melengkapi sederet pemain kulit hitam yang pernah mendapat perlakuan rasis dalam beberapa waktu belakangan dari fans Cagliari.
Sebelumnya, mantan penyerang Juventus, Moise Kean, dan eks gelandang Pescara, Sulley Muntari, juga pernah mendapat perlakuan rasial dari pendukung Rossoblu.
Ultras Inter Milan Bereaksi
Mendengar kabar bombernya mendapat perlakuan rasis, ultras Inter Milan yang dikenal dengan L'Urlo della Nord pun langsung bereaksi melalui surat terbuka yang dimuat di halaman resmi Facebook mereka.
Akan tetapi, alih-alih mengutuk aksi tersebut, dalam surat itu L’Urlo della Nord justru mendukung apa yang dilakukan suporter Cagliari.
Ultras Inter tak keberatan dengan sikap fans Cagliari yang mengejek Lukaku. Menurut mereka, chants monyet yang dilakukan fans Cagliari adalah 'cara' untuk menolong tim yang mereka bela.
"Kami memahami bahwa ini bisa terlihat rasis bagi Anda, tetapi tidak seperti itu. Di Italia kami menggunakan beberapa 'cara' hanya untuk 'membantu tim kami' dan mencoba membuat lawan kami gugup, bukan untuk rasisme tetapi untuk mengacaukan mereka.
Kami adalah organisasi penggemar multi-etnis dan kami selalu menyambut pemain dari mana-mana. Namun, kami selalu menggunakan 'cara' itu dengan pemain tim lain di masa lalu dan kami mungkin akan melakukannya di masa depan.Kami bukan rasis dan begitu juga dengan fans Cagliari," demikian penggalan surat dari L’Urlo della Nord.
Ultras: Rasisme adalah Bentuk 'Penghormatan' untuk Lukaku
Lebih lanjut, Ultras Inter menyebut hal ini memang lazim dilakukan di semua stadion di Italia.
Mereka pun meminta secara khusus kepada Lukaku agar menganggap kejadian ini sebagai bentuk penghormatan terhadap fakta bahwa mereka (fans Cagliari) takut pada Lukaku untuk gol yang bakal dicetak dan bukan karena mereka membenci secara personal.
"Tolong anggap sikap penggemar Italia ini sebagai bentuk penghormatan terhadap fakta bahwa mereka takut pada Anda untuk gol yang mungkin Anda cetak melawan tim mereka dan bukan karena mereka membenci Anda atau mereka rasis."
Menurut Ultras Inter Milan, rasisme sejati adalah kisah yang sama sekali berbeda dengan kejadian di Sardinia dan semua penggemar sepak bola Italia tahu tentang itu.
Ultras Inter juga meminta agar Lukaku tak memerangi rasisme di sepak bola Italia. Jika hal itu dilakukan, maka sama saja Lukaku dan lainnya membantu menekan semua penggemar sepak bola di Italia, termasuk fans Inter Milan.
“Ketika Anda menyatakan bahwa rasisme adalah masalah yang harus diperangi di Italia, Anda hanya membantu penindasan terhadap semua penggemar sepak bola termasuk kami dan Anda berkontribusi untuk menciptakan masalah yang tidak benar-benar ada, bukan dengan cara yang dirasakan di negara lain."
1. Frustrasinya Lukaku
Frustrasinya Lukaku
Kondisi ini bisa dibilang menjadi hal yang frustratif bagi Lukaku. Di belahan Eropa lainnya, apa yang ditunjukkan oleh fans Cagliari secara luas dikenal sebagai sikap yang rasial.
Terutama jika kita membicarakan kultur di sepak bola Inggris modern. Jika ini terjadi di Liga Primer, maka secara mutlak hal ini disebut sebagai tindakan rasis, baik itu oleh klub, pemain, maupun suporter secara umum.
Tapi nyatanya, apa yang terjadi di Inggris, tempat di mana Lukaku menghabiskan delapan tahun karier sepak bolanya, berbeda dengan di Italia. Setidaknya begitu yang dipahami pendukung garis keras Inter Milan.
Sejauh ini, belum ada pernyataan resmi dari Romelu Lukaku untuk menanggapi sikap dari sebagian pendukung timnya itu.
Rasisme Musuh Sepak Bola
INDOSPORT sebagai media yang memberitakan olahraga dan sepak bola tentu menjunjung tinggi nilai-nilai sportivitas.
INDOSPORT pun secara lantang menentang segala tindakan rasisme dalam sepak bola dan olahraga lainnya. Secara khusus, kami sangat menyesali kejadian yang menimpa Romelu Lukaku pada pertandingan Cagliari vs Inter Milan di Sardegna Arena, Sardinia, Minggu (01/09/19).
Italia bukanlah sebuah pengecualian. Italia pun sama seperti tempat-tempat di belahan dunia lainnya di mana rasisme adalah musuh dalam sepak bola. Bagi Ultras Inter, apa yang menimpa Lukaku mungkin dianggap baik, tetapi sebenarnya tidak.
Jika kita menjadikan aturan sebagai tolok ukur, maka jelas apa yang menjadi pemahaman dari Curva Nord adalah kekeliruan.
FIFA, sebagai induk sepak bola tertinggi dunia, selalu memberikan perhatian besar terhadap kasus-kasus seperti ini. Aturan kian dipertegas dan sanksi berat telah disiapkan bagi siapa pun yang berperilaku rasis.
Tindakan rasisme khususnya di dunia sepak bola masih jadi pekerjaan rumah untuk federasi sepak bola dunia, FIFA, dalam memberantasnya.
Padahal, otoritas sepak bola tertinggi tersebut bersama seluruh federasi yang menjadi anggotanya acap kali mengampanyekan untuk menghilangkan tindakan rasis dalam bentuk spanduk bertuliskan "Say No To Racism" sebelum pertandingan.
Tak hanya itu, di Eropa bahkan ban kapten yang melingkar di lengan kiri seorang pemain juga bertuliskan Say No To Racism. Namun, tetap saja perilaku rasisme dari suporter di Rusia, Italia, dan negara lain terjadi baik dalam skala kecil maupun besar.
Di sepak bola Indonesia sendiri, berkaitan dengan insiden rasisme yang tengah memanas akhir-akhir ini terkait isu Papua, sejumlah klub Liga 1 2019 ikut mengampanyekan anti-rasisme dengan memberi dukungan kepada seluruh pemain yang berasal dari Bumi Cendrawasih.
Namun, dengan terus berulangnya praktik rasisme di sepak bola di setiap musimnya di berbagai liga, serta masih lemahnya tindakan tegas dari federasi serta FIFA, maka kampanye "Say No To Racism" malah terkesan hanya sebuah slogan semata.
FIFA, dalam Kode Disiplin tentang Rasisme di Pasal 13.2, sudah mencatumkan aturan tegas mengenai perilaku rasisme di sepak bola beserta sanksinya.
Dalam poin-poin tersebut, tercantum sanksi nyata yang melingkupi pemain, suporter, sampai klub yang kedapatan melakukan praktik rasisme.
Cagliari pun jelas harus dikenakan sanksi atas perilaku yang ditunjukkan suporternya, karena hal ini sudah diatur pada ayat kedua.
"2. Jika satu atau lebih penggemar federasi atau klub mengadopsi perilaku yang dijelaskan dalam bagian satu, maka tindakan disipliner berikut dapat dikenakan pada federasi atau klub yang bertanggung jawab."
Hukuman yang bisa diberikan pun berupa pertandingan tanpa penonton dan denda setidaknya 18 ribu euro. Jika kasus berulang, maka yang paling parah Cagliari bisa mendapat pengurangan poin sampai dikeluarkan dari kompetisi (degradasi).
Namun, kenyataanya, Cagliari yang berulangkali berurusan dengan kasus rasisme kerap lolos dari hukuman. Misal, pada kasus yang menimpa Moise Kean di mana mereka bebas dari tuduhan pelanggaran rasial walau sudah masuk investigasi FIGC.
Contoh lain adalah klub Zenit Saint Petersburg di Rusia yang tak pernah benar-benar dikenakan hukuman dari federasi setempat walau secara gamblang suporternya mengampanyekan tradisi anti-pemain kulit hitam.
Sanksi atau hukuman tegas jelas harus diberikan bagi klub, pemain, atau siapa pun yang melakukan praktik rasisme di sepak bola. Apalagi, hal itu sudah tercantum jelas dalam aturan FIFA.
Di sinilah peran aktif dari federasi negara setempat sangat dibutuhkan. Federasi harus sejalan dengan FIFA karena aturan dan sanksi sudah tercantum jelas.
Mengandalkan edukasi saja jelas tidak cukup. Belajar dari sikap Ultras Inter terhadap Romelu Lukaku, seharusnya kita tahu sudah seberapa dewasa dan cerdas mereka untuk bisa menyebut menirukan suara monyet sebagai bentuk rasisme.