Menyingkap Dosa-dosa Marco Giampaolo Bersama AC Milan
FOOTBALL265.COM – Nasi sudah menjadi bubur, palu pemecatan telah menghampiri Marco Giampaolo yang pergi meninggalkan AC Milan dengan kumpulan dosa-dosanya.
Hanya unggul 3 angka atas Lecce yang berada di zona degradasi tentu merupakan sebuah pelecehan bagi klub sebesar AC Milan. Juara Liga Champions sebanyak 7 kali itu tidak seharusnya berada di posisi 13 dalam klasemen sementara Liga Italia.
Akibatnya Marco Giampaolo yang merupakan pelatih kepala pun harus mengambil tanggung jawabnya dengan dipecat oleh AC Milan. Hasil 4 kali kalah dalam 7 laga menjadi dosa yang tak bisa dimaafkan oleh tifosi AC Milan akan Giampaolo.
“AC Milan mengumumkan telah membebaskan Marco Giampaolo dari posisinya sebagai pelatih tim utama. Klub berterimakasih kepada Marco atas kinerjanya selama ini, kami selalu berharap yang terbaik untuk karier profesionalnya,” tulis AC Milan dalam situs resminya.
Tentu selain membawa AC Milan pada jurang degradasi, masih ada banyak dosa yang telah diperbuat oleh Marco Giampaolo hingga membawa malapetaka dan nestapa bagi para tifosinya.
Oleh karena itu berikut INDOSPORT mengajak untuk menyingkap satu per satu dosa Giampaolo di AC Milan.
Gagal Membina Hubungan Baik dengan Manajemen
Jurnalis ternama dari media berita sepak bola Italia, La Gazzetta dello Sport, Nicolo Schira mengungkapkan bahwa ada friksi yang terjadi antara Giampaolo dengan Zvonimir Boban. Nama terakhir yang disebutkan tadi adalah direktur olahraga AC Milan.
Usut punya usut, Boban disebut tidak suka dengan taktik Giampaolo yang memainkan formasi 4-3-3 dengan mengandalkan Krzysztof Piatek, Suso dan Giacomo Bonaventura di lini depan.
Boban diketahui lebih setuju AC Milan bermain dengan 4-3-1-2 dengan Lucas Paqueta sebagai trequartista di belakang duet striker Piatek dan Rafael Leao. Hal itu dikarenakan Boban meyakini Paqueta dan Rafael Leao lebih miliki kualitas dibanding Suso.
Friksi yang terjadi antara Boban dan Giampaolo menandakan bahwa eks pelatih Sampdoria itu gagal membina hubungan baik dengan manajemen. Bahkan ada yang menyebutkan friksi inilah yang membuat Giampaolo dipecat.
Marco Giampaolo Gagal Menemukan Formasi Paten
Masa pramusim merupakan momen yang tepat bagi sejumlah klub untuk mematangkan dan mematenkan formasi dan strategi apa yang akan dipakai nanti. Namun tampaknya itu gagal didapatkan oleh Marco Giampaolo di AC Milan.
Dari 7 laga yang telah dimainkan saja, Giampaolo tampak telah secara bergantian memakai 3 formasi yang berbeda mulai dari 4-3-1-2, 4-3-2-1, hingga 4-3-3. Sejatinya tak masalah memakai sejumlah formasi untuk mengecoh lawan.
Namun dalam kasus AC Milan, tampak bahwa Marco Giampaolo belum berhasil menemukan formasi dan strategi yang tepat. Sehingga ketika musim berjalan, Giampaolo masih terlihat meraba-raba formasi dan cara untuk membangkitkan AC Milan, sepertinya sangat terlambat.
1. Gagal Menjadikan Krzysztof Piatek Seperti Fabio Quagliarella
Satu titik lemah yang jelas terekspos jelas dari AC Milan musim ini adalah mandulnya lini serang. Di mana dari 7 laga yang telah dimainkan, AC Milan hanya mampu mencetak 6 gol saja, artinya rasio gol tidak sampai satu bahkan.
Padahal di musim lalu, Giampaolo berhasil membangkitkan penyerang gaek, Fabio Quagliarella yang mengemas 26 gol. Musim ini, sebenarnya Giampaolo telah dibekali penyerang bertalenta seperti Krzysztof Piatek.
Tapi catatan hanya cetak 2 gol dari 7 laga menjadi bukti kalau Giampaolo gagal menjadikan Piatek seperti Quagliarella di musim ini bersama AC Milan.
Tidak Memanfaatkan Potensi Pemain Baru
Tak hanya gagal memanfaatkan potensi Piatek dengan baik dan benar, Giampaolo juga seperti menyia-nyiakan deretan pemain baru yang telah direkrut. Mulai dari Rade Krunic, Ante Rebic, Ismael Bennacer, hingga Leo Duarte.
Ante Rebic hanya bermain dalam 64 menit saja dengan catatan kartu kuning lebih banyak daripada gol atau asis. Rade Krunic bahkan lebih parah lagi dengan hanya bermain dalam 45 menit saja meski dirinya adalah anak asuh Giampaolo di Empoli.
Ismael Bennacer yang berstatus sebagai pemain terbaik di Piala Afrika 2019 mengalahkan Mohamed Salah dan Sadio Mane pun hanya tampil angin-anginan bersama AC Milan sama seperti Leo Duarte.
Menempatkan Hakan Calhanoglu dan Suso Tidak di Posisi Terbaiknya
Selain gagal memanfaatkan potensi dan kapasitas timnya, Giampaolo ternyata juga salah menempatkan pemainnya. Sebagai contoh Hakan Calhanoglu yang fasih bermain sebagai gelandang serang justru ditarik mundur sebagai gelandang bertahan dan tengah.
Setali tiga uang dengan Calhanoglu, Suso yang dididik sebagai seorang penyerang sayap di Liverpool justru malah menjadi trequartista. Padahal jika kedua pemain itu ditempatkan di posisi terbaiknya, bukan tidak mungkin peforma AC Milan bakal lebih baik lagi.
Keras Kepala
Terakhir adalah sifat keras kepala Giampaolo yang bersikukuh tidak akan mengubah cara melatihnya di AC Milan meski menuai rentetan hasil buruk. Hal tersebut pernah diungkapkan oleh Giampaolo sebelum palu pemecatan menghampirinya.
“Baik atau buruk, ini adalah cara yang akan saya gunakan dalam melatih AC Milan. Namun saat ini, semua keputusan saya terlihat keliru,” ujar Giampaolo, dikutip dari laman sepak bola internasional, Football Italia.
Padahal untuk menjadi pelatih yang sukses, diperlukan adaptasi seperti yang dilakukan oleh Antonio Conte saat di Chelsea. Conte mengubah gaya main Chelsea yang mengandalkan skema 4 bek menjadi 3 di mana mereka akhirnya juara Liga Inggris.
Mundur sekitar 10 tahun yang lalu, ada Sir Alex Ferguson yang mengubah paradigma bahwa Manchester United perlu bermain dengan tiga striker tidak dengan duet penyerang lagi.
Andai Marco Giampaolo mau mencoba mengubah cara melatihnya, mungkin ia tak akan dipecat oleh AC Milan dan tifosi akan senang karena ada perbaikan secara peforma.