Persija Adalah Karya Sastra Terbaik Sepak Bola Indonesia
FOOTBALL265.COM - Persija Jakarta adalah karya sastra terbaik sepak bola Indonesia. Di dalamnya terdapat konflik batin pemain, pelatih, manajemen, dan suporternya.
Layaknya sebuah karya sastra, klub sepak bola memiliki masa kejayaan atau biasa disebut kanon. Kanon periode Balai Pustaka (1920â1924) salah satunya adalah Sitti Nurbaja karya Marah Roesli.
Marah Rusli dengan indahnya melukiskan cinta dan amarah tokoh Sitti Nurbaja dan Samsulbachri yang merepresentasikan kegelisahan sosial zaman itu.
Mahakarya Sitti Nurbaja mengingatkan kita kepada Persija, menjadi bagian dari sejarah, terlupakan, bangkit, kemudian dikenang kembali. Ah, indah sekali.
Persija ada dalam sejarah sepak bola Indonesia, menjadi bagian dari terbentuknya PSSI, meraih gelar domestik terbanyak, hingga kini berjuang agar tak terdegradasi. Ah, sedih sekali.
Sangat sempurna sebagai sebuah karya sastra. Alurnya sulit diprediksi, penokohannya tidak datar, dan ada amanat dari setiap musim yang dijalani.
Sebagai sebuah karya sastra, Persija punya alur yang rumit. Tetapi, yang pasti memiliki awalan, konflik, klimaks, dan akhir (ending).
Persija tidak pernah terdegradasi sejak pertama kali Soeratin Sosrosoegondo menggagas kompetisi sepak bola di negeri sendiri (1930). Tentunya menjadi suatu kebanggaan bagi publik Jakarta.
Sembilan gelar Perserikatan dan dua gelar Liga Indonesia adalah bukti sahih kehebatan Macan Kemayoran. Namun, layaknya karya sastra, Persija tetap menyerap inspirasi dari masa lalu, seperti Pramoedya Ananta Toer dengan Anton Chekov dan Budi Darma dengan Jane Austen.
Di Liga 1 2019, Persija seperti hendak mengulang kisah sedih Petrokimia Putra Gresik dan PSIS Semarang yang meraih juara kemudian terdegradasi musim berikutnya.
Persija begitu superior ketika juara Liga 1 2018 bahkan bisa mengawinkannya dengan Piala Presiden. Namun, layaknya karya sastra, alurnya bisa tak tertebak, tergantung cara penulisnya mengakhiri cerita.
Persija masih mencari klimaks perjuangan mereka di Liga 1. Mungkin dua kali ganti pelatih dalam semusim baru menjadi konflik-konflik kecil (rising action) yang membentuk klimaks sesungguhnya.
Bisa jadi, klimaksnya berada di akhir, menjelang ending. Puncak pergolakan batin pemain, pelatih, manajemen, dan suporternya akan hadir di akhir musim. Sebenarnya persis musim 2018 lalu, bedanya ini degradasi atau tidak, bukan juara atau tidak.
Pergerakan alur yang dinamis ini bisa mengubah penokohan, menaikkan tensi menjadi aksi. Suporter bisa menjadi lawan pemainnya sendiri.
Masalah Bambang Pamungkas dengan suporter Persija salah satunya. Inilah realitas dinamisnya sebuah alur, bisa mengubah penokohan. Namun, itulah yang membuat Persija seperti karya sastra, ada pergolakan batinnya.
Lalu, apa amanat yang bisa diambil dari sebuah kanon karya sastra kekinian bernama Persija? Silakan mencarinya sendiri dengan horizon harapan masing-masing.
Setiap orang memiliki interpretasi sendiri setiap selesai membaca karya sastra, tergantung pengetahuan dan pengalamannya, termasuk saat menilai Persija.
Persija Jakarta adalah karya sastra terbaik sepak bola Indonesia. Ia abadi, selalu bisa dibaca, akan terus dicintai, simpanlah dalam rak lemari atau cukup dipendam dalam hati.