90 Tahun PSSI, Kejarlah Prestasi Tanpa Banyak Sensasi
FOOTBALL265.COM - Memasuki usia hampir satu abad, PSSI sudah selayaknya memperbaiki diri dengan mengurangi sensasi dan mulai berprestasi.
Tepat hari ini 19 April 2020 Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia merayakan hari jadinya yang ke-90 tahun. Sebuah usia yang tidak main-main bagi sebuah federasi sepak bola.
Sejak berdiri pada tahun 1930 silam, PSSI telah dipimpin oleh 17 ketua umum yang terbentang mulai dari Ir. Soeratin (pendiri) sampai Mochamad Iriawan yang diselingi oleh tiga pelaksana tugas.
Dalam perjalanan keorganisasiannya, federasi yang dulu bernama Persatuan Sepak Raga Seluruh Indonesia ini mulai bergabung dalam keanggotaan FIFA pada tahun 1952. Kemudian disusul dengan menjadi anggota AFC dua tahun kemudian.
Sepanjang berdirinya, PSSI telah menggelar berbagai kompetisi dan turnamen, seperti Liga Indonesia, Liga 1, Liga 2, Liga 3, Liga 1 Putri, Piala Indonesia, Elite Pro Academy Liga 1 U-16, Elite Pro Academy Liga 1 U-18, Elite Pro Academy Liga 1 Liga 1 U-16, Piala Soeratin U-17, Piala Soeratin U-15 dan Piala Pertiwi.
Dengan usia hampir satu abad, berbagai tantangan telah dihadapi oleh PSSI. Namun, seperti kata pepatah, usia bukanlah sebuah penentu kedewasaan.
Faktanya, di usia-usia menjelang satu abad ini PSSI semakin terlihat tak dewasa. Sebagai organisasi yang lebih tua dari NKRI, PSSI lebih banyak mencetak sensasi ketimbang prestasi.
Padahal di masa silam, PSSI relatif mampu melahirkan tim nasional yang disegani di Asia. Bahkan, liga sepak bola Indonesia pernah jadi role model negara maju lain.
Ungkapan ini tidaklah berlebihan. Menarik ingatan ke dua dekade ke belakang, kita disuguhkan segambreng permasalahan di PSSI yang membuat kita terheran-heran dan mengernyitkan dahi.
Mulai dari ketua umum yang dipenjara, konflik kepentingan, kisruh perebutan kursi pimpinan, dualisme liga, pembekuan FIFA, sampai skandal pengaturan skor besar-besaran, semua pernah terjadi di PSSI. Sayang, deretan masalah memalukan ini tidak diimbangi dengan prestasi.
Ramai Masalah, Miskin Prestasi
PSSI era Nurdin Halid (2003-2011) bisa dibilang adalah salah satu titik terendah perjalanan organisasi. Pada 2007, Nurdin Halid yang notabene ketua umum divonis dua tahun penjara akibat tersandung masalah korupsi.
Alih-alih mundur dari kursi ketua umum, Nurdin Halid tetap pada jabatannya. Statuta FIFA, anjuran ketua KONI, sampai wakil presiden pun tak dihiraukan.
Hal ini mendapat kritikan luas dari masyarakat. Muka organisasi sangat tercoreng lantaran di waktu bersamaan tim nasional Indonesia tak mendapatkan prestasi besar apapun.
Konflik kepentingan semakin terlihat jelas terjadi di tubuh PSSI ketika terjadi kisruh perebutan kursi ketua umum pada 2011 yang kembali melibatkan Nurdin Halid.
Terpilihnya Djohar Arifin Husin pada kongres tahun 2011 di Solo tak memperbaiki kondisi PSSI. Di masa ini justru terjadi masalah dualisme liga yang menggerogoti sepak bola nasional.
Tahun-tahun kepemimpinan Djohar Arifin Husin memang dipenuhi masalah. Perebutan kekuasaan para elite di masa sebelumnya hanya mengorbankan sepak bola Indonesia.
Liga terpecah, PSSI terpecah (lahirnya KPSI), klub-klub pun ikut terpecah. Konflik dualisme jadi salah satu tinta hitam perjalanan PSSI yang bahkan masih bisa dirasakan dampaknya sampai detik ini.
Lepas dari konflik dualisme, memasuki 2015, PSSI yang masih dipimpin Djohar Arifin malah memasuki babak masalah baru. Di tahun ini PSSI terlibat konflik dengan pemerintah yang berujung pada pembekuan organisasi oleh FIFA.
Lepas dari pembekuan, PSSI yang diharapkan bangkit di era ketua umum Edy Rahmayadi (2016), justru kembali terjerembab. Belum genap tiga tahun, Edy Rahmayadi menyatakan mundur..
Sederet kasus mulai dari kekerasan suporter, jebloknya prestasi TImnas Indonesia, sampai pengaturan skor kembali mengekspos kebobrokan kronis dalam tubuh PSSI.
Pada 2018-2019, skandal pengaturan skor besar-besaran terungkap di persepakbolaan Indonesia. Tak kurang dari 15 orang pelaku sepak bola Indonesia ditangkap dalam rangkaian kasus mafia sepak bola.
Penangkapan dilakukan dari mulai wasit, anggota exco, sampai level plt. ketua umum! PSSI benar-benar berada di titik nadir. Selama bertahun-tahun sepak bola kita dikhianati dan dikotori oleh orang-orang busuk yang hanya mencari keuntungan sepihak.
Skandal pengaturan skor di liga sepak bola Indonesia 2018-2019 bagaikan puncak masalah yang bahkan mampu menyedot perhatian masyarakat non-sepak bola dan seorang presiden. Masalah ini bahkan melebihi skandal suap dan pengaturan skor di era awal 60-an.
Stop Sensasi, Mari Berprestasi
Harapan yang entah untuk keberapa kalinya kembali terbangun di era PSSI baru yang dipimpin oleh Mochamad Iriawan.
Namun, percikan-percikan masalah masih belum sepenuhnya hilang. Pemilihan ketua umum pada 2019 lalu juga diwarnai konflik-konflik kecil.
Sensasi bahkan masih tak berhenti dibuat PSSI. Pekan ini publik sepak bola nasional dikejutkan dengan kabar mundurnya Sekjen PSSI, Ratu Tisha.
Tak ada angin tak ada hujan, Ratu Tisha memutuskan mundur dari jabatannya. Kritikan tajam dari anggota dewan yang notabene mantan petinggi PSSI diyakini banyak pihak jadi pemicu Tisha meletakan jabatan.
Meski begitu, sejauh ini PSSI masih belum keluar trek. Setidaknya sampai menjelang pertangahan tahun ini.
Terlepas dari masalah force majeure yang tengah memukul persepakbolaan nasional, sepak bola Indonesia mulai tertata pelan-pelan. Klub-klub berangsur profesional, Timnas Indonesia kembali dibangun dengan pondasi pembinaan usia muda.
Kini saatnya bagi PSSI untuk berprestasi dan mengurangi sensasi. Mari fokus bersama-sama membangun sepak bola nasional dan membangkitan Macan Asia. Dirgahayu ke-90 untuk PSSI.