Andre Villas-Boas, Chelsea, Reli Dakar, dan Kebangkitannya di Ligue 1
FOOTBALL265.COM – Andre Villas-Boas adalah salah satu juru taktik paling brilian yang pernah dilahirkan oleh Portugal, bahkan di awal kemunculannya dirinya disebut-sebut sebagai wonderkid di dunia kepelatihan.
Memperoleh lisensi kepelatihan UEFA pada usia yang baru menginjak 17 tahun, karier pelatih AVB—panggilan akrabnya—baru dimulai 15 tahun kemudian saat usianya menginjak 32 tahun usai kenyang pengalaman sebagai asisten pelatih Jose Mourinho dan bahkan sempat menjabat sebagai Direktur Teknik Timnas British Virgin Islands.
Academica menjadi klub pertama yang diasuhnya. Bersama klub ini pula Villas-Boas berhasil menarik perhatian media Portugal atas kejeniusannya meracik taktik.
Meskipun tak mengantarkan 1 trofi pun, Academica yang tadinya berada di dasat klasemen Liga Portugal berhasil dia bawa ke posisi 10, terpaut 11 poin dari zona degradasi. Hasil yang cukup untuk membuat Porto tertarik memakai jasanya.
Bersama Porto, nama Villas-Boas makin mewangi. Dirinya membawa Porto meraih gelar juara dengan status tak terkalahkan dengan selisih lebih dari 20 poin dan hanya kebobolan 13 gol. Catatan yang sangat memukau untuk pelatih debutan seperti dirinya.
Tak berhenti di situ saja, AVB juga sukses membawa Porto menjuarai Piala Portugal dan melengkapinya dengan trofi Liga Europa untuk mengantarkan treble winner ke Estadio do Dragao di musim debutnya.
Secara khusus, raihan trofi Liga Europa itu menjadikannya pelatih termuda sepanjang sejarah yang mampu meraih trofi kompetisi Eropa, sebuah rekor yang belum terpecahkan hingga saat ini.
Performa gemilang yang ditunjukkan bersama Porto di musim debutnya berhasil membuat Chelsea kepincut. Pada 22 Juni 2011, Villas-Boas secara resmi ditebus oleh Chelsea dengan biaya kompensasi senilai 15 juta euro (259 miliar rupiah). Nilai transfer pelatih terbesar sepanjang sejarah. Nilai yang bahkan masih menjadi catatan rekornya sampai saat ini.
Dikontrak 3 tahun, AVB digadang-gadang akan membawa Chelsea pada kejayaan. Dengan permainan atraktif yang diperagakannya bersama Porto, banyak pihak berharap dirinya mampu mereplika kesuksesannya di Portugal untuk dibawa ke Liga Inggris.
Harapan yang keliru. Villas-Boas gagal tampil sesuai harapan dan harus mengakhiri perjalanannya bersama Chelsea bahkan sebelum kontraknya habis.
Dirinya dipecat pada 4 Maret 2012 setelah rentetan hasil buruk yang dituai oleh Chelesa. Nominal 259 miliar rupiah yang dibayarkan oleh Roman Abramovich jadi tampak sia-sia dan periode kepelatihannya di Chelsea ini adalah salah satu titik terbawah sepanjang karirnya.
Dalam kurun waktu kurang dari setahun, AVB hanya mampu meraih 19 kemenangan, 11 hasil imbang dan 10 kekalahan dari 40 pertandingan dengan presentase kemenangan yang hanya mencapai 47,5%.
Ibarat sebuah zaman, era Chelsea adalah era Dark Age bagi AVB. Dirinya terpuruk dan menerima banyak kritik akibat kegagalan idealismenya di lapangan.
Alih-alih beradaptasi dengan sistem Liga Inggris dan menyesuaikan taktik dengan pemain yang ada, Villas-Boas ngotot untuk bermain dengan taktik yang sama yang dirinya mainkan di Academica dan Porto.
Sebuah pilihan keliru yang membuat dirinya ditendang dari Stamford Bridge bahkan sebelum sempat menyelesaikan musim 2011/12 secara penuh.
Usai dilepas oleh Chelsea, Villas-Boas kemudian menyeberang ke Tottenham Hotspur. Bersama Tottenham, dirinya sudah tidak terlalu idealis dan beberapa kali menerapkan taktik yang adaptif dengan kondisi tim dan lawan yang akan dihadapi.
Tak lama di Tottenham, AVB kemudian meneruskan petualangannya ke Liga Rusia dan Liga Super China bersama Zenit Saint Petersburg dan Shanghai SIPG. Kedua klub ini semacam menjadi tanda jika dirinya telah mulai kehilangan ambisi dalam dunia kepelatihan.
Bisa dibayangkan bagaimana seorang pelatih muda yang digadang-gadang bakal menuai kesuksesan di masa depan harus berakhir di liga yang tak kompetitif dan dianggap sebagai liga yang kelasnya jauh di bawah Liga Inggris atau bahkan Liga Portugal?
Lunturnya rasa cinta tersebut semakin kentara ketika dirinya memutuskan untuk banting stir menjadi pereli dengan mengikuti salah satu kompetisi reli paling terkenal di dunia, Reli Dakar (Paris-Dakar).
1. Andre Villas-Boas, Chelsea, Reli Dakar, dan Kebangkitannya di Ligue 1
Reli Dakar dan Kebangkitannya Bersama Marseille di Ligue 1
“Balapan adalah salah satu hasrat terpendam yang saya miliki sejak kecil dulu,” ujar Villas-Boas pada Red Bull jelang debutnya di Reli Dakar.
Dirinya melanjutkan dengan cerita mengenai pamannya yang sukses meraih trofi Camel dan sempat berpartisipasi dalam Paris-Dakar tahun 2000 lalu.
“Selain sepakbola, balapan adalah hal lain yang mengalir di dalam denyut nadi keluarga kami. Saya selalu berambisi untuk berpartisipasi di Reli Dakar dan mengikuti jejak paman saya,” katanya.
Pelatih papan atas yang namanya terlupakan ketika hengkang dari Liga Inggris ini kemudian secara resmi ikut berpartisipasi dalam salah satu reli terganas di dunia itu pada edisi tahun 2018.
Keputusannya untuk ikut dalam Reli Dakar membuat banyak pihak memprediksi jika karirnya di dunia kepelatihan telah habis dan dirinya dianggap tak bisa kembali pada levelnya dulu. Level di mana AVB disebut-sebut sebagai calon pelatih brilian di masa depan.
Untungnya, karirnya di reli hanya berjalan sangat singkat. Dirinya diputuskan tak bisa melanjutkan balapan usai Toyota Hilux yang dia kendarai bersama co-driver, Ruben Faria menabrak gumuk pasir pada etape ke-4 di Peru.
“Sangat disayangkan saya tidak bisa melanjutkan balapan. Tapi mau bagaimana lagi, ini adalah bagian yang saya harus jalani dari Reli Dakar,” tegasnya.
Sempat menjajal Baja TT do Pinhal—kompetisi reli lain—dan tak menuai kesuksesan, Villas-Boas kemudian memutuskan untuk kembali ke dunia yang membesarkannya: sepakbola.
Pada 28 Mei 2019, AVB resmi kembali ke dunia sepakbola usai menandatangani kontrak bersama Marseille dengan durasi 2 tahun. Sebuah keputusan yang membuat namanya kembali mulai mewangi.
Bermain pragmatis dengan strategi high press yang menguras energi, Villas-Boas langsung mencuri perhatian para fans Marseille. Tak perlu waktu lama, dirinya langsung ditahbiskan menjadi ikon baru di Stade Velodrome usai sukses membawa Les Olympiens kembali ke Liga Champions dan mengakhiri musim 2019/20 sebagai runner-up.
Marseille dibawanya bagkit dan menjadi tim terdekat di Ligue 1 yang memiliki kans besar untuk mengkudeta PSG di puncak klasemen. Sayang, pandemi Covid-19 yang mengancam dunia membuat otoritas liga memutuskan untuk menghentikan kompetisi meski jadwal masih berjalan sebanyak 28 pekan.
Tampaknya rasa cinta dan ambisi yang sempat luntur beberapa tahun lalu kembali hadir di dalam diri Villas-Boas. Dia mungkin gagal dalam dunia setir di Reli Dakar, namun saat ini dirinya berhasil menyetir Marseille kembali ke arah yang benar. Siap membawanya merusak dominasi PSG di Ligue 1 dan memberikan kejutan di Liga Champions musim depan.