Blunder Terbesar Manajemen Juventus dan Dosa Berat Maurizio Sarri
FOOTBALL265.COM – Nasi sudah menjadi bubur, kegagalan Juventus di Liga Champions merupakan buah dari blunder terbesar manajemen dan dosa berat Maurizio Sarri.
Juventus yang mendatangkan Cristiano Ronaldo dari Real Madrid, tentu berharap agar mental pemenang yang dimiliki megabintang Portugal itu bisa menular ke pemain lainnya, untuk menjuarai Liga Champions. Namun kekalahan dari Ajax Amsterdam musim lalu menjadi awal dari semua petaka.
Soalnya, manajemen Juventus seperti mulai kehilangan kepercayaan terhadap Massimiliano Allegri sebagai pelatih. Akibatnya, jelang akhir musim lalu, Juventus pun sempat dirumorkan ingin menggantikan Allegri dengan Zinedine Zidane yang sudah terbukti di Liga Champions.
Namun, malang bagi Juventus karena Zidane menyatakan kesetiannya dengan Real Madrid, sedangkan Allegri sudah terlanjur angkat kaki. Alhasil manajemen Juventus pun menunjuk Maurizio Sarri sebagai pelatih baru untuk musim ini.
Penunjukan Sarri dan blunder manajemen pada awal musim ini, menjadi permulaan dari bencana yang menimpa Juventus hingga akhirnya, revolusi pun harus digaungkan.
1. Dosa Berat Maurizio Sarri
Sebenarnya keputusan untuk menunjuk Sarri, dapat dipahami kalau Juventus ingin bermain lebih menyerang. Namun, ada yang salah di sini, melakukan revolusi dengan identitas Juventus sebagai tim bertahan menjadi lebih menyerang merupakan pekerjaan besar dan tak bisa selesai dalam satu musim.
Semakin rumit karena gaya main Sarri Ball sesungguhnya sukar dimengerti, hal itu pernah diakui beberapa penggawa Chelsea, tim yang pernah dilatih Sarri sebelum ke Juventus. Namun, masalah adaptasi seharusnya bisa teratas jika Sarri mendatangkan Jorginho.
Peran Jorginho dalam gaya main Sarri Ball sangatlah penting karena ia akan menjadi lem perekat tim saat transisi bertahan ke menyerang atau sebaliknya. Itu juga menjadi alasan mengapa dari banyak bintang Napoli, Sarri hanya meminta Chelsea datangkan Jorginho saja di awal musim lalu.
Singkat cerita, Jorginho ternyata tetap bertahan di Chelsea dan tak mengikuti Langkah Sarri yang sudah hengkang ke Juventus. Sarri pun saat itu berkilah jika Juventus sudah memiliki Miralem Pjanic yang ia yakini bisa disulap jadi Jorginho kedua.
Akan tetapi, harapan menjadi jauh panggang daripada api, Pjanic ternyata tak bisa menjadi lem perekat Sarri Ball sebagus Jorginho. Pjanic mengaku kalau sangat sulit memahami taktik Sarri, lagipula playmaker Bosnia-Herzegovina itu terlihat seperti out of position, jadi lebih ke dalam.
“Kami memainkan sepak bola. Bukan hanya saya saja yang mengatakan hal itu, tetapi itu sangat jelas. Butuh waktu untuk mengembangkan sepak bola seperti itu (Sarri Ball),” ungkap Pjanic seperti dilansir Football Italia.
Sejatinya, tak hanya Pjanic saja yang jadi out of position, banyak juga pemain yang bermain di posisi tak seharusnya. Contoh paling baik adalah Cristiano Ronaldo yang sudah dianalisis oleh Fabio Capello, bahwa ia tak punya kecepatan untuk melewati lawan, malah ditaruh Sarri sebagai penyerang sayap.
Di sinilah letak dosa berat Sarri, ia tak memiliki rencana cadangan jika Juventus tak mampu mengaplikasikan taktik Sarri Ball-nya. Sarri terlalu memaksakan kehendaknya sehingga membuat pemainnya jadi tak mampu mengeluarkan potensi terbaiknya.
Pemilihan pemain yang akan diturunkan seperti membuang Emre Can dan Mario Mandzukic demi Gonzalo Higuain juga menjadi dosa besar Sarri. Semua orang tahu jika Higuain sudah lewat masanya, sedangkan Mandzukic adalah bintang Juventus dengan mental baja.
Blunder Manajemen Juventus
Sarri memang salah tapi tak sepenuhnya beban menjadi kambing hitam harus dipikul olehnya. Soalnya blunder manajemen Juventus juga turut andil dalam membawa Si Nyonya Tua ke gerbang kehancuran.
Semua bermula saat Juventus memutuskan untuk mendepak Giuseppe Marotta pada 2018 lalu dari posisi Direktur Olahraga. Fabio Paratici yang merupakan asisten Marotta pun diangkat sebagai Direktur Olahraga dan langsung melakukan tindakan kontroversial dengan mendepak Allegri dan menggantikannya dengan Sarri pada akhir musim lalu.
Mantan presiden Juventus, Giovanni Cobolli Gigli sejak tahun lalu sudah menyatakan kekecewaannya terhadap kebijakan manajemen Juventus. Baginya, penunjukan Paratici akan membawa Juventus pada kehancuran yang nyata.
Sempat dipuji karena berhasil memenangi pertarungan untuk mendapatkan Cristiano Ronaldo, Matthijs de Ligt dan mendatangkan Aaron Ramsey serta Adrien Rabiot dengan gratis, Paratici jadi balik dikecam. Soalnya, ia gagal mendatangkan Jorginho, Romelu Lukaku, Mauro Icardi, serta gagal membuang banyak pemain tak terpakai.
Ramsey dan Rabiot yang didatangkan dengan gratis pun tampak seperti tak cocok dengan taktik Sarri. Atau mungkin lebih tepatnya jika semua pemain Juventus seperti tak cocok dengan taktik yang ingin diterapkan Sarri.
Menjadi sebuah pertanyaan besar, bagaimana bisa Paratici mengontrak pelatih seperti Sarri tanpa memberikan pemain yang cocok dan mengetahui taktiknya, dalam hal ini Jorginho. Memang seorang pelatih harus beradaptasi dengan sumber daya yang ada, tetapi bukankah sudah jadi rahasia umum juga kalau Sarri bukan tipe yang seperti itu.
Dengan kata lain, jika manajemen mengangkat Sarri, sudah seharusnya jika mereka tahu konsekuensinya. Namun memang pada akhirnya tak ada ruang untuk saling menyalahkan, karena selalu ada porsi kesalahan bagi setiap orang yang bekerja dalam sebuah tim.
Manajemen Juventus melakukan blunder karena terlalu gegabah mendepak Allegri dan Marotta hingga menunjuk Sarri yang terlalu kaku dengan taktiknya. Tetapi Sarri juga berdosa karena tak mampu beradaptasi dengan sumber daya yang ada (terlalu bergantung dengan Jorginho).