Kurikulum Pendidikan Sir Alex Ferguson yang Hilang dari Man United
FOOTBALL265.COM - Sir Alex Ferguson adalah sosok pelatih yang nampaknya sulit tergantikan di klub Liga Inggris, Manchester United.
Bersama dirinya, The Red Devils berhasil tampil sebagai salah satu raksasa sepak bola di tanah Britania Raya, menorehkan 13 gelar Liga Inggris, lima Piala FA, dua Liga Champions, empat Piala Liga, dan masih banyak lagi.
Namun sebagai manusia biasa yang tidak lepas termakan usia, Sir Alex Ferguson mau tidak mau harus menuntaskan masa kepemimpinannya di Manchester United. Ia memutuskan pensiun pada tahun 2013 silam.
Untungnya, ia masih bersedia jadi orang di balik layar dengan posisi direktur dan juga perwakilan (brand ambassador) klub. Terlihat jelas, bahwa kehadirannya masih sangat diidam-idamkan oleh semua yang berada di Manchester United.
Tugas besar pun langsung menimpa penggantinya, David Moyes, yang pada akhirnya hanya bisa bertahan kurang lebih sembilan bulan saja menjadi juru taktik The Red Devils. Setelahnya, seperti ada yang kurang di Manchester United.
Mereka sudah tidak punya lagi sentuhan Fergie, sapaan akrab Sir Alex Ferguson, yang sudah melekat selama 27 tahun lamanya. Ia punya cara tersendiri ketika menangani pemain, termasuk menerapkan aturan dan hierarki yang jelas dalam skuatnya.
Sosok Paul Scholes dan Roy Keane merupakan dua di antara sekian produk bimbingannya yang paling sukses. Kedisiplinan dan ketegasan jadi poin krusial dalam kurikulum pendidikan Fergie di Manchester United.
Roy Keane suatu hari bahkan pernah mengusir seorang pemain muda dari sesi latihan bahkan sebelum juniornya itu menginjakkan kaki di pintu masuk. Gara-garanya, ia menyetel musik terlalu keras di mobilnya ketika memasuki area parkir tempat latihan.
Sebuah sistem akan berjalan dengan baik jika ada seorang pemimpin yang memberi perintah. Dalam hal ini, Roy Keane berhasil menjelma sebagai sosok mengerikan namun begitu dihormati.
Sebagai seseorang yang pernah menjadi buruh di galangan kapal saat masih muda dengan komando dari atasan, Fergie tentu paham dan sadar betul terhadap hal ini.
Saking kuatnya sistem yang diterapkan Sir Alex Ferguson, bahkan hingga saat ini para bintang seperti Ryan Giggs, Eric Cantona, dan Gary Neville masih terus membicarakan sosok Fergie.
Ketika mereka membuka mulut dan berbicara, terutama saat membahas Manchester United, rasa-rasanya ada sosok Fergie sedang berada di tempat yang sama dan mengawasi mereka.
Selain itu, seorang Sir Alex Ferguson juga berusaha menjaga reputasi dirinya ketika ‘bercuap-cuap’ di depan para pemain. Pasalnya, tidak jarang beberapa pelatih sepak bola justru dicuekin karena ucapannya yang mungkin membosankan atau diulang-ulang.
Untuk menghindari hal tersebut, Fergie selalu berusaha membuat speech-nya semenarik mungkin dengan membahas topik-topik tertentu agar tim mau mendengarkannya mengoceh. Ia bercerita tentang kisah kepahlawanan, orang-orang hebat, bahkan cerita perang.
1. Ketegasan Sir Alex Ferguson di Manchester United
Hairdryer Treatment
Sir Alex Ferguson sempat membeberkan resep suksesnya menjadi pelatih sepak bola kelas dunia kepada akademisi Universitas Harvard. Dalam wawancara bertajuk Sir Alex Ferguson: Managing Manchester United tersebut, ia membicarakan banyak hal.
Beberapa di antaranya adalah cara menghadapi media, cara membuat para pemain senang dan termotivasi, dan yang pasti metode yang digunakannya untuk mendisplinkan anak-anak asuhnya.
Salah satunya yang paling terkenal adalah hairdryer treatment yang mengharuskannya menegur pemain dengan berteriak keras dan lantang. Hal tersebut diakui Fergie bukan metode yang bisa dilakukan setiap saat namun cukup efektif.
“Anda tidak bisa selalu berteriak, hal itu tidak akan berhasil karena tidak ada pemain yang mau dikritik seperti itu. Tapi di ruang ganti, penting untuk menunjuk kesalahan pemain dan saya langsung melakukannya,
“Setelah pertandingan, saya tidak perlu menunggu sampai hari Senin. Namun setelah itu ya sudah, saya akan beralih ke pertandingan selanjutnya, karena tidak ada gunanya mengkritik pemain seumur hidup,” ucap Sir Alex seperti diberitakan The Guardian pada tahun 2012.
Sebagai seorang pelatih, Sir Alex Ferguson juga menempatkan posisinya sebagai ayah yang tegas jika anak-anaknya berbuat salah. Hanya saja, ia tidak ingin menghancurkan mental sang anak dengan membeberkan kesalahannya ke khalayak.
“Jika mereka berulah, kami akan memberi denda tapi kami tidak mengumbarnya. Tapi jika ada yang sampai lewat dari batas saya, dia akan tamat,” tegas Fergie.
Cara lain Fergie untuk menempa mental sekaligus membentuk karakter para anak didiknya adalah membiarkan mereka menjadi dirinya sendiri.
Ketimbang susah-susah menggurui bagaimana seseorang harus bertindak, ia lebih pilih menerima pemainnya apa adanya. Jika ada kelemahan pun, mereka bisa membayarnya dengan melakukan hal-hal baik atau hebat.
Ia juga menegaskan kepada para pemain bahwa bekerja juga termasuk talenta dan mereka harus berusaha sebaik mungkin untuk tampil lebih baik dari yang lain. Hanya saja, satu hal yang tidak bisa ditoleransi Fergie, yakni perihal kedisiplinan.
“Jika mereka tidak sanggup lagi menaati kedisiplinan yang kami terapkan di United, mereka harus keluar,” ucapnya.
Meski terkesan keras, pada akhirnya metode Sir Alex Ferguson ini berbuah manis di Manchester United. Lihat saja banyak anak asuhnya saat ini tumbuh menjadi orang dewasa dan gentleman yang hebat baik di dalam maupun luar lapangan.
Sayangnya metode dan pendekatan psikologis seperti ini belum terlihat lagi di Manchester United setelah era Sir Alex Ferguson. Namun kini The Red Devils sudah memiliki sosok pelatih hebat dalam diri Ole Gunnar Solskjaer.
Pernah menjadi pemain Manchester United kelebihan Solskjaer ketimbang para pendahulunya, termasuk Jose Mourinho. Ia sudah paham filosofi klub dan bukan tidak mungkin ia bisa jadi Sir Alex Ferguson selanjutnya, tentu, dengan metode dan approach-nya sendiri.