Trequartista dan Tuah Si Nomor 10 yang Bawa AC Milan Rajai Eropa, Kini Tinggal Kenangan
FOOTBALL265.COM – Sempat jadi primadona dan jadi kunci AC Milan rajai Eropa, kini posisi trequartista sudah jarang terdengar seiring berkembangnya taktik sepak bola modern.
Pada era 90-an, AC Milan dan hampir seluruh tim dari Liga Italia memang sangat bergantung pada sosok trequartista yang jadi kreator serangan.
Secara Bahasa, trequartista berarti tiga perempat yang merujuk pada posisi bermain yakni 3/4 daerah lawannya. Sementara secara taktikal, trequartista artinya adalah yang jadi penyambung aliran bola dari lini tengah ke lini serang.
Namun dalam permainan, peran trequartista jauh lebih berat dan komplek lantaran pemain tersebut harus mempunyai kemampuan passing, dribbling, shooting hingga finishing yang sama baiknya.
Ditempatkan dibelakang striker tunggal, trequartista harus tahu cara melepaskan diri dari penjagaan lawan, kemudian bergerak cepat untuk mengalirkan bola.
Seorang trequartista wajib bisa membaca kondisi sekitarnya, sehingga saat menguasai bola, ia bisa menciptakan sesuatu yang baru entah itu key passes atau mencetak gol lewat tembakan long shot.
Posisi ini berbeda dengan Advance Playmaker yang biasanya bermain lebih di tengah dan ikut terlibat saat tim sedang melakukan transisi ke mode bertahan.
Dengan kemampuan yang lebih komplet, tak heran jika para peraih Ballon D’or era 80 hingga awal 2000-an lebih sering dimenangkan pada posisi trequartista lantaran peran krusialnya di lapangan.
Nama-nama seperti Kaka, Ronaldinho, Zinedine Zidane hingga Ruud Gullit merupakan beberapa bintang yang sukses bersinar dan raih Bola Emas sebagai trequartista.
Vitalnya peran ini juga tak lepas dari taktik tradisional yang banyak dipakai klub Liga Italia, di mana skema 4-2-3-1 sedang jadi trend center kala itu.
1. AC Milan dan Masa Keemasan Trequartista
Sebelum munculnya era sepak bola modern yang mengandalkan 4-3-3, 4-4-2 atau 3-5-2, ada taktik 4-3-2-1, 4-2-3-1 dan 4-3-1-2 yang sempat sukses mendominasi dan jadi pakem sejumlah tim Eropa.
AC Milan jadi salah satu tim yang paling gemar serta bergelimang kesuksesan lewat taktik ini, terutama saat Rossoneri ditangani Carlo Ancelotti.
Meski pada akhirnya skema 4-3-2-1 atau formasi pohon natal jadi standar Ancelotti bersama AC Milan, namun taktik 4-3-1-2 jadi cikal bakal magis sang pelatih bersama Rossoneri.
Dalam formasi tersebut, AC Milan mengandalkan dua striker sebagai ujung tombak dan dibantu para trequartista dibelakangnya.
Di awal kedatangannya di AC Milan, sosok Rui Costa jadi pemeran utama di lini tengah dan menyuplai duo striker yang ditempati Filippo Inzaghi dan Andriy Shevchenko.
Kemudian setelah mengetahui kualitas umpan serta dribbling Andrea Pirlo, sang pelatih pun memilih memainkan eks Inter Milan tersebut di belakang para striker.
Namun pada bursa transfer musim 02/03, AC Milan mendatangkan Clarence Seedorf dan Rivaldo yang membuat Ancelotti kian pusing menentukan barisan lini tengahnya.
Akhirnya, tercetuslah formasi 4-3-2-1 yang menggabungkan dua trequartista (Rui Costa dan Rivaldo) yang berada di belakang satu striker.
Sementara Pirlo bersama dua gelandang tengah yang biasanya ditempati Gennaro Gattuso dan Clarence Seedorf, jadi penyeimbang permainan AC Milan.
Setelah era Rui Costa dan Rivaldo habis, AC Milan era Ancelotti pun masih mengandalkan peran trequartista untuk membantu lini serang mereka.
Kali ini giliran Ricardo Kaka serta Clarence Seedorf jadi penyuplai bola buat Filippo Inzaghi yang didapuk sebagai striker tunggal usai Shevchenko hengkang ke Chelsea.
Sedangkan di lini tengah, pos yang ditinggal Seedorf ditempati oleh Massimo Ambrosini, sementara Pirlo bergeser ke kanan dan Gattuso jadi gelandang pemutus serangan.
Berbekal skema pohon natal dan duet dua trequartista tersebut, Ancelotti membantu AC Milan menjuarai Serie A, Coppa Italia, Supercoppa Italiana, UEFA Champions League, UEFA Super Cup serta FIFA Club World Cup dalam 8 tahun pengabdiannya di San Siro.
2. Hilangnya Si Nomor 10
Setelah sempat berjaya bersama AC Milan, perlahan sosok trequartista yang jadi primadona tersebut hilang digerus modernisasi taktik para pelatih muda.
Skema 4-2-3-1 atau 4-3-2-1 yang jadi tren, berganti menjadi 4-3-3 yang lebih fleksibel dan membuat tim bisa cepat melakukan transisi dari bertahan ke menyerang.
Bahkan Ancelotti yang jadi pioner kepopuleran trequartista, kini cenderung bermain dengan 4-3-3 dan mengandalkan dua central midfielder serta satu regista atau deep lying playmaker.
Hilangnya sosok trequartista juga tak lepas dari minimnya pemain tengah dengan kualitas komplit macam Zidane, Kaka atau Ronaldinho yang sama baiknya saat menyerang, mendrible, melepaskan umpan serta mencetak gol.
Di era sekarang, lebih banyak playmaker bertipikal regista yang tugasnya mengalirkan bola dan mengontrol permainan dari lini tengah.
Mesut Ozil yang sepertinya jadi trequartista terakhir di era milenial, kariernya malah turun setelah Arsenal ditangani Unai Emery yang lebih menyukai gelandang box to box atau central midfielder murni yang dapat ikut membantu pertahanan.
Tak heran pada saat itu, Mesut Ozil kalah saing dengan gelandang Arsenal lain yang lebih agresif seperti Granit Xhaka, Lucas Torreira, dan Matteo Guendouzi.
Di Italia sendiri sosok trequartista terakhir yang pernah jadi sorotan adalah Francesco Totti. Sang pangeran Roma ini merupakan penyuplai bola buat Gabriel Batistuta dan Vincenzo Montella.
Akan tetapi seiring berjalannya waktu, Il Gladiatore bertransformasi menjadi striker lantaran tim lebih tertarik dengan insting gol Totti ketimbang kecerdasannya dalam mengontrol bola dan lepaskan umpan.