Subur di Olahraga hingga Konser, Mengapa Fenomena Calo Sulit Diberantas di Indonesia?
Fenomena calo pun lambat laun bertransformasi hingga ke media sosial. Mereka tidak hanya menjual tiket secara offline, tetapi juga online yang bahkan berujung penipuan.
Di media sosial sendiri ada istilah Want to Buy (WTB) untuk para pencari tiket, serta Want to Sell (WTS) untuk menjual tiket.
Kemudian ada juga Want to Trade (WTB) untuk bertukar kategori tiket dengan biaya tambahan sesuai dengan kelas yang diinginakan, contoh ingin menukar kelas kategori A menjadi VIP.
Namun calo biasanya beraksi dengan embel-embel WTS, yang kemudian menjual tiket yang dimilikinya dengan harga tinggi.
WTS juga bisa berujung penipuan, dan sudah banyak terjadi di sejumlah event internasional termasuk Indonesia Open 2023, Timnas Indonesia vs Argentina maupun konser Coldplay.
Mereka biasanya melakukan penipuan dengan menyuruh calon pembeli mengirimkan uang pembelian tiket lalu memblokir kontak atau tidak memberikan respons apapun dan berganti nomor.
Selain itu calo juga melakukan aksinya lewat WTB, di mana mereka membeli tiket yang kemudian dijualnya dengan harga mahal.
Selain melalui media sosial, calo juga kini semakin pintar karena mampu mendapatkan banyak tiket karena tak hanya mengandalkan gadget canggih maupun internet yang kencang tetapi juga melalui mesin bot.
Scalping online atau calo online biasanya menggunakan bot scalper yang kinerjanya ialah untuk mengungguli konsumen asli untuk mendapatkan suatu barang seperti tiket yang dijual secara daring alias war tiket.
Bot scalper lebih cepat memasukan item yang dicari ke dalam keranjang mereka sehingga lebih mudah untuk mengamankan tiket.
Fenomena scalper atau calo sejatinya merupakan permasalahan di seluruh dunia, tetapi di beberapa negara di luar negeri memiliki aturan ketat untuk membasmi masalah tersebut.
Mengapa Negara Lain Bisa Berantas Calo?
Jika di Indonesia fenomena calo masih sulit diberantas, berbeda dengan negara lain yang memiliki aturan ketat soal permasalahan ini, salah satunya ialah Australia.
Laman Gotocourt Australia menjelaskan adanya aturan soal jumlah dan biaya perhitungan penjualan kembali tiket.
“Jika pemegang kembali menjual tiketnya ke acara besar dan lebih dari 10 persen di atas nilai nominal tiket tersebut maka akan disebut sebagai sebuah pelanggaran,” tulis pernyataan tersebut.
Untuk calo tiket personal yang menjual lebih dari enam tiket akan mendapatkan hukuman denda senilai AUD 9.913 atau setara dengan Rp94 juta. Sedangkan untuk calo tiket korporasi adalah denda sebesar AUD 49.566 (Rp508 juta).
Selain Australia, ada Taiwan yang juga memberikan aturan tegas untuk memberantas calo, setelah terdapat kasus meroketnya harga tiket konser BLACKPINK hingga 40 kali lipat.
Pemerintah Taiwan telah mengesahkan Amandemen Undang-Undang Pengembangan Industri Budaya dan Kreatif yang menyatakan bahwa siapa pun pihak yang terciduk membeli kemudian menjual tiket kembali dengan harga tinggi akan menghadapi hukuman tiga tahun penjara.
Selain itu pelaku juga bakal didenda dengan nominal 50 kali lipat dari harga tiket asli yang tentu diharapkan bisa memberikan efek jera.
"Orang-orang yang menggunakan informasi dan metode menyesatkan, termasuk algoritma online, untuk membeli tiket dalam jumlah besar untuk dijual kembali bisa dihukum penjara maksimal tiga tahun atau denda 3 juta NTD (Rp1,4 miliar).” tulis Liberty Times Taiwan.
Selain itu demi memberantas calo, pihak pemerintah Taiwan bekerja sama dengan kepolisan untuk memberikan hadiah bagi masyarakat yang membantu melaporkan adanya tindak percaloan tiket.
Pemerintah dan kepolisian setempat akan memberikan hadiah hingga 100 NTD atau setara Rp48 juta alias 20 persen dari jumlah denda pelaku.
Sayangnya, hal seperti ini belum diterapkan di Indonesia meskipun dalam hukum pidana telah diatur. Indonesia sudah sepatutnya mencontoh Australia maupun Taiwan yang memilih tegas dan punya cara lebih efektif/praktikal untuk memberantas calo sebelum makin subur di tengah antusias kawula muda dalam event olahraga dan konser musik.