Prestasi bulutangkis Indonesia terjun bebas dalam beberapa tahun terakhir. Setelah era kejayaan Susy Susanti dan Taufik Hidayat berakhir, sektor tunggal putra dan putri seakan mati suri dan berada di ujung tanduk.
Riwayat bulutangkis Indonesia saat ini tak ubahnya seperti raksasa yang sedang tertidur pulas. Sosok raksasa yang dulu garang di panggung tepok bulu dunia, namun entah kapan akan terbangun dari tidur panjangnya.
Baru-baru ini, Indonesia boleh berbangga karena ada dua anak mudanya berhasil melambungkan nama Indonesia di panggung dunia. Adalah Kevin Sanjaya Sukamuljo/Marcus Gideon Fernaldi yang baru saja mengukir sejarah dengan mencatatkan hattrick juara di 3 turnamen beruntun di awal tahun 2017 hanya dalam waktu satu bulan.
Gelar juara All England, India Open Super Series, dan Malaysia Open Super Series Premier berhasil dibawa pulang pasangan yang dijuluki Duo Minions tersebut. Prestasi mengkilap Kevin/Marcus seolah menutupi celah di sektor-sektor lain terutama tunggal putra dan putri.
Sayangnya, seperti yang sudah-sudah di sederet turnamen sebelumnya, pertanyaan yang sama masih muncul. Di mana jejak tunggal-tunggal putra dan putri kita, apakah masih ada? Apa kabar pemain-pemain kebanggaan kita di sektor tunggal di turnamen-turnamen level Super Series Premier dan Super Series?
Padahal dulu, Indonesia pernah berjaya dan disegani di arena bulutangkis dunia pada era beberapa legenda hebat terutama di sektor tunggal seperti Tan Joe Hok, Rudy Hartono, Liem Swie King, Hendrawan, Susy Susanti, Alan Budikusuma, sampai Taufik Hidayat.
Sederet gelar bergengsi seperti gelar juara All England pertama yang diraih Tan Joe Hok pada 1959, lalu ada 8 gelar All England (7 gelar diraih beruntun) yang disikat Rudy Hartono, 3 gelar All England Liem Swie King, juara dunia Hendrawan, medali emas Olimpiade Barcelona 1992 milik Susy Susanti dan Alan Budikusuma, sampai juara dunia milik Taufik Hidayat berhasil dibawa pulang ke Tanah Air.
Prestasi-prestasi tersebutlah yang kemudian melambungkan nama Indonesia di puncak kejayaan bulutangkis dunia. Indonesia menjelma menjadi kiblat bulutangkis dan selalu dihormati di berbagai kejuaraan bergengsi.
Sayang, semua catatan prestasi itu kini hanya tinggal kenangan dan jadi kepingan sejarah manis saja. Bayangkan, untuk sektor putri, terakhir kali kita berjaya adalah saat merebut gelar juara di Piala Uber 1996, betapa kita sudah kadung rindu dengan prestasi-prestasi srikandi kita. Kini, tak ada lagi jagoan-jagoan bulutangkis suksesor kejayaan Rudy Hartono, penerus kegigihan Susy Susanti, hingga pewaris pukulan backhand smash milik Taufik Hidayat.
Pencapaian bulutangkis Indonesia tampaknya sudah mentok, atlet-atlet andalan kita lebih sering hanya meramaikan kejuaraan saja ketimbang naik podium, kecuali di sektor ganda putra dan ganda campuran yang sejauh ini sukses mempertahanan konsistensi dengan raihan gelar.
Indonesia terutama Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI) tampaknya begitu kesulitan menelurkan pemain-pemain hebat di sektor tunggal putra, apalagi tunggal putri. Di dua sektor tersebut, kemampuan para pemain Indonesia masih di bawah bayang-bayang pemain dari China, Malaysia, Jepang, Denmark, bahkan kini Thailand yang mulai bangkit.
Lalu, apa ada yang salah dengan pembibitan pemain Indonesia di dua sektor tersebut sehingga tak kunjung bangkit bertahun-tahun lamanya? INDOSPORT berkesempatan berbincang dan berdiskusi dengan dua legenda hidup bulutangkis Indonesia beda generasi, Tan Joe Hok dan Rudy Hartono. Ditemui di tempat yang berbeda, Tan dan Rudy membeberkan kekurangan dan memberikan solusi terbaik untuk kemajuan bulutangkis Tanah Air di pentas dunia.