Mengembalikan Kejayaan Raja Tunggal Bulutangkis Indonesia
Walaupun kasus pencurian umur mencoreng wajah bulutangkis kita, namun Tan Joe Hok dan Rudy Hartono sama-sama lega karena Indonesia masih memiliki beberapa pemain muda yang bisa diandalkan di masa mendatang.
Rudy dan Tan ternyata tetap menaruh harapan besar terhadap para pemain tunggal putra muda kita saat ini. Nama Jonatan Christie dan Anthony Sinisuka Ginting dianggap memiliki potensi dan masih memiliki kesempatan besar untuk berkembang lebih jauh.
“Itu pemain-pemain tunggal kita kan sebenarnya bagus seperti Jonatan Christie, Anthony Ginting, tapi kalau tunggal putri saya belum yakin. Namun, kita juga mesti lihat benar gak kualitasnya bagus. Waktu latihan apakah mereka benar-benar mengeluarkan kemampuan 100 persen? Kalau 99 persen, bagi saya itu gak ada, gak boleh itu,” ungkap Rudy.
“Sebenarnya kita sudah bisa baca di Indonesia ini, kenapa kok lambat benar regenerasinya? Sekarang dari mana kita bisa punya pemain tunggal hebat? Tommy Sugiarto sudah makin menua. Tinggal kita perjuangkan pemain-pemain seperti Jonatan Christie dan Anthony Ginting,” jelas Tan Joe Hok.
“Kalau dilihat, secara basic teknik permainan bulutangkis mereka cukup bagus. Tapi, masalahnya mereka punya kemauan gak? ‘Saya mau! Saya Bisa! Saya mau latihan keras dan benar!’ Ada gak yang seperti itu?” sambung Tan.
“Semua itu balik lagi kepada pemainnya masing-masing, kamu mau jadi jago gak? Kalo mau jadi jago harganya sangat mahal sekali, kamu harus bisa mengatasi segala-galanya. Terutama mengatasi diri sendiri ya,” jelasnya.
Tan yang sudah sepuh dan kenyang pengalaman tahu betul bahwa untuk jadi sang juara selamanya harus konsisten dan harus menabrak ambang batas. Singkatnya, pemain kita harus lebih cepat dari lawan, lebih tahan lama, dan tidak berbuat kesalahan.
Tan mencontohkan Lee Chong Wei sebagai sosok pemain yang patut dicontoh oleh pemain-pemain muda Indonesia dari segi mental bertanding, kegigihan, serta konsistensi. Bayangkan saja, di usia 34 tahun saat ini, pemain terbaik Malaysia itu masih sanggup meladeni para pemain muda dan masih bisa meraih sederet gelar juara.
Semua tentu dicapai dengan cara yang tak mudah. Pria yang kini berusia 79 tahun itu mengungkapkan bahwa kejenuhan bisa jadi masalah serius bagi pemain yang ingin jadi sang juara. Jenuh jadi masalah utama atlet bulutangkis karena bisa membuat pemain kehilangan fokus, meski bukan capek fisik.
Selain itu, mental dan metode latihan harus dibuat terbalik. Menurut Rudy Hartono, pemain harusnya mati-matian dan jungkir balik hanya waktu latihan saja, lalu di pertandingan pemain tinggal memetik hasil berupa gelar juara.
“Hampir setiap pemain akan mengeluarkan kemampuannya lebih dari 100 persen saat tampil di sebuah kejuaraan. Sekarang pertanyaannya, kenapa pemain gak mengeluarkan lebih dari itu saat di latihan?” jelas Rudy.
“Kalau sudah terbiasa mengeluarkan kemampuan lebih dari 100 persen saat di latihan, berarti saat di pertandingan jadinya gak perlu sakit lagi, gak perlu cedera. Ini latihan mental. Mental yang bagus itu adalah yang diasah di latihan. Bukan dipertandingan,” tegas Rudy.
Terlebih mental kuat seorang pemain bulutangkis juga harus ditanamkan sejak dini saat masih usia belia. Rudy mengungkapkan bahwa Indonesia masih bisa melahirkan ‘The Next’ Rudy Hartono asal memiliki sistem yang tak rumit.
“Ada dan bisa terjadi, tapi 10 tahun kemudian (mungkin akan ada 'The Next' Rudy Hartono),” terang Rudy Hartono dengan percaya diri.
Rudy mengatakan bahwa kejayaan bulutangkis kita bisa kembali terutama di sektor tunggal jika ada kerjasama, jika ada support dari pemerintah. Memang sejauh ini bibit-bibit unggul bulutangkis kita didapat dari klub-klub besar seperti Djarum, Jaya Raya, atau Tangkas.
Namun, Rudy menegaskan tak selamanya kita akan berharap terus dari klub-klub tersebut untuk melahirkan pemain berbakat. Ada cara-cara tambahan yang bisa mendukung pembinaan pemain muda di Indonesia.
“Berarti bulutangkis itu harus dimassalkan di sekolah SD di seluruh Indonesia. Tapi ini tetap saja gak gampang kalau pemerintah gak turun tangan dan gak ngasih fasilitas, itu tidak mudah,” lanjut Rudy.
“Pemerintah harusnya membuat aturan dan kebijakan bahwa kita harus coba bulutangkis sebagai olahraga prioritas, dengan cara memainkan bulutangkis di sekolah SD. Bulutangkis bisa dijadikan salah satu mata pelajaran atau ekstrakurikuler di samping pelajaran seni,” saran Rudy.
Rudy yakin sistem yang ia harapkan tersebut bisa berjalan dengan baik asalkan dijalankan dengan teratur. Rudy sendiri memakai logika penyaringan pemain di sekolah dari seluruh wilayah di Indonesia. Hal itu cukup masuk akal karena ia melihat di Indonesia saja sudah terdapat sekitar 100-200 ribu sekolah SD yang bisa dimaksimalkan.
Dari total sekolah tersebut tinggal dikalikan saja dengan kurang lebih 100 orang anak potensial untuk bermain bulutangkis. Maka akan ada total 20 juta anak kecil yang berusia dari 7-14 tahun akan tersaring dalam tahap pertama.
Kemudian, dari 20 juta bakat muda tersebut disaring lagi dengan ketat untuk mendapatkan total 200 ribu anak yang unggul. Tak cukup sampai di situ, untuk mencari pemain terbaik dari yang terbaik maka harus diperas lagi menjadi 2000 anak yang paling hebat.
“Wah kalau saringannya seperti itu setiap tahun, pasti bakal dapat yang terbaik. Saya percaya dan yakin dengan sistem tersebut, tapi harus dijalankan dengan konsisten,” tegas Rudy.
Memang sistem tersebut akan membutuhkan waktu yang lama. Menurutnya bakal memakan waktu kurang lebih 10 tahun untuk mendapatkan pemain yang benar-benar hebat. Namun, hasilnya akan pas jika pembibitan pemain dimulai dari usia 7 tahun, maka 10 tahun kemudian saat usia 17 tahun sudah mulai siap dan bisa diorbitkan ke turnamen internasional.
“Jangan khawatir, lihat saja nanti dengan sistem seperti itu tiba-tiba keluar sang juara dari Indonesia. Mental yang bagus itu adalah yang diasah di latihan, bukan dipertandingan,” tegas Rudy.