Suka Duka Pemilik ‘Smash 100 Watt’ Jadi Raja Tunggal Putra Indonesia: Paksa Latihan Meski Cedera
FOOTBALL265.COM – Legenda bulutangkis, Hariyanto Arbi, menceritakan suka dukanya mengemban status sebagai raja tunggal putra Indonesia, termasuk pernah memaksakan diri berlatih meski tengah dibekap cedera.
Hariyanto Arbi merupakan mantan pebulutangkis dari Indonesia yang masuk dalam beberapa pemain tunggal terbaik dunia di era 1990-an.
Salah satu pencapaian terbaiknya yakni berhasil memenangkan All England secara back-to-back, yakni pada tahun 1993 dan 1994.
Selain itu, Haryanto Arbi juga pernah menjuarai Hong Kong Open (1994 dan 1995), Japan Open (1993, 1995), Taipei Master (1993, 1994), Juara Dunia State Express 555 (1994), juara ASEAN Games (1994), Kejuaraan Dunia (1995) dan Thomas Cup (1994, 1996, 1998 dan 2000).
Ini membuat Hariyanto Arbi dianggap sebagai tunggal putra tersukses secara international di antara rekan-rekannya seperti Ardy Wiranata, Joko Suprianto, Alan Budikusuma, Hermawan Susanto, dan Hendrawan.
Siapa sangka. Kesuksesan Hariyanto Arbi menyabet deretan gelar juara internasional tersersebut dilalu dengan dengan perjuangannya melawan cedera.
Berbicara dalam wawancara di kanal YouTube PB Djarum, Hariyanto Arbi menuturkan bahwa sebenarnya dia menanggung cedera hamper di semua bagian tubuh sejak masih remaja.
Cedera yang dialaminya ini dikarenakan faktor eksternal, mulai dari sol sepatunya terlaly tipis, harus latihan di lapangan dengan permukaan aspal hingga semen.
“Semua (bagian tubuh) cedera, kalo bagian kecil di lutut cederanya waktu di umur 14-15, faktornya sepatunya tipis, latihan di aspal, lapangan dulu semen,” ujar Hariyanto Arbi.
“Cedera pinggang retak sudah pernah,” lanjutnya.
1. Pesan Sang Ayah Bikin Hariyanto Arbi Ketakutan
Meski dalam kondisi cedera, namun Hariyanto Arbi mengaku tidak pernah patah semangat dalam berlatih. Sebab, dia selalu terngiang-ngiang pesan ayahnya yang membuatnya sempat takut.
“Dulu saya pernah dikatai sama Bapak, kamu kalau nggak latihan satu hari kemampuanmu akan turun,” sambung Hariyanto Arbi.
Saat itu, Hariyanto Arbi kecil hanya menurut saja kata-kata ayahnya. Dia bahkan tidak tahu bahwa latihan juga butuh istirahat sampai-sampai hari Minggu dia juga memaksakan diri berlatih.
“Dulu waktu saya kecil saya nggak tahu, dari 8 tahun sampai 17 tahun masuk pelatnas, saya nggak tahu.”
“Waktu dengar itu, saya pun takut. Saya cedera pun saya masih latihan,” tambah Hariyanto Arbi.
Selain karena pesan dari orang tua, keinginan kuatnya berlatih meski cedera ternyata juga termotivasi oleh rekan-rekannya yang berlatih.
“Salah satunya (termotivasi teman-teman), kalau liat teman latihan saya bisa ketinggalan, jadi kalo cedera lutut saya latihan tangan,” tandasnya.
Bukti kegigihan Hariyanto Arbi di lapangan sendiri pernah terlihat saat dirinya memaksakan bertanding mewakili Indonesia di final Piala Thomas 1996 meski sedang cedera otot.
Hariyanto Arbi pun turun di partai penentuan ketika Indonesia sudah unggul 2-0 atas Denmark pada final Piala Thomas 1996.
Pemilik smash 100 watt ini berhasil menang dengan skor 15-8 pada game pertama. Namun di game kedua, Hariyanto Arbi mengalami cedera otot pinggang ketika unggul 5-1 dari lawannya.
Kendati seharusnya memilih mundur, Hariyanto Arbi nyatanya tetap memaksakan diri untuk terus melanjutkan pertandingan demi mempersembahkan gelar Piala Thomas 1996 untuk Indonesia.
Hariyanto Arbi pun berhasil merebut game kedua dengan skor 15-8 dan kemenangan Indonesia di final Piala Thomas 1996 dilengkapi oleh unawan/Bambang dan Alan Budi Kusuma. Indonesia menang sempurna 5-0 atas Denmark.