Cerita Kapten Timnas Afghanistan, Terusir dari Negeri Perang Hingga Merantau ke Malang

Sabtu, 7 Januari 2017 15:49 WIB
Editor: Ramadhan
 Copyright:
Hidup dan Terusir dari Negara Perang

Faysal Shayesteh masih balita ketika ayahnya, yang merupakan seorang dokter dan memiliki usaha praktek di Kabul, hijrah ke Belanda menyusul situasi konflik di Afghanistan. Meski berat meninggalkan kampung halaman, Faysal nyatanya tetap mencintai sepakbola sejak kecil.

“Saya tahu betapa pentingnya olahraga untuk orang-orang kami di Afghanistan. Olahraga menyatukan seluruh bangsa. Sebagai pesepakbola, tidak ada yang membuat saya puas selain meraih kemenangan untuk membuat orang lain bahagia,” kata Faysal Shayesteh kepada The Hindu.

Faysal dan kakaknya, Qays Shayesteh menjadi pemain sepakbola profesional dan keduanya sama-sama memperkuat Timnas Afghanistan.

“Ayah kami adalah penggemar sepakbola berat. Ada banyak anak-anak bermain sepakbola di tempat di mana kita tinggal di Belanda,” sambung Faysal.

“Ayah saya tidak ingin kembali ke tanah airnya karena ada hal-hal tertentu yang membuatnya tidak senang dengan situasi yang terjadi di sana,” bebernya terkait situasi perang di Afghanistan.

Faysal benar-benar tak bisa menikmati masa kecilnya bermain sepakbola di lapangan di tanah kelahirannya. Perang di Afghanistan nyaris memberangus mimpinya untuk menjadi pesepakbola profesional.

Aksi olah bola Faysal Shayesteh.

“Rasanya sakit sekali ketika saya mendengar tentang ledakan bom dan pembunuhan di Afghanistan. Saya ingin perdamaian untuk kembali ke tanah air saya,” kata Faysal Shayesteh seperti diberitakan The Hindu.

Meninggalkan Afghanistan, Faysal akhirnya mau tak mau menjadi bagian dari Timnas Belanda U-15 dan U-17, sebelum akhirnya ia terpilih bergabung bersama Timnas Senior Afghanistan oleh pelatih Jerman, Erich Rutemoller.

Faysal baru menjalani debutnya bersama Timnas Afghanistan pada 2014 melawan Kyrgyzstan di bawah asuhan Mohammad Yousef Kargar. Sayangnya, Faysal sama sekali belum pernah melakoni pertandingan bersama negaranya di Afghanistan dan ia bersama Timnasnya harus rela terusir dari negaranya.

“Kami memainkan laga kandang kami di Iran karena situasi perang. Saya belum pernah bermain di Afghanistan,” jelas Faysal.

“Tentu saja saya akan senang jika bisa bermain di negara saya, tetapi situasi sama sekali tak mendukung saat ini. Untuk menjalani turnamen, kami pun harus berlatih di Qatar,” tandasnya.

Aksi olah bola Faysal Shayesteh saat berusaha melewati sang lawan.

Kondisi pahit Faysal di Afghanistan kurang lebih pernah dialami Murtaza, seorang bocah yang memakai jersey kantong plastik dengan bertuliskan nama Lionel Messi dan nomor 10 di punggungnya. Murtaza ternyata mengidolai Messi dan merupakan anak yang hidup di tanah perang, Afghanistan.

Menurut laporan Mirror, Selasa (02/02/16), Murtaza adalah seorang bocah berusia 5 tahun yang tinggal di Jaghori, sebelah barat daya kota Kabul. Dia diketahui sebagai bocah korban perang di Afghanistan.

“Saya mencintai sepakbola Messi dan saya akan bertemu dengannya suatu hari nanti. Saya ingin menjadi seperti dia,” kata Murtaza kepada Al Jazeera.

Image result for murtaza messiMurtaza, bocah korban perang Afghanistan yang memakai jersey kantong plastik dengan nama dan nomor Lionel Messi.

Namun, Murtaza akhirnya bisa bertemu langsung dengan Messi saat Barcelona menjalani laga persahabatan melawan Al Ahli, di Stadion Thani bin Jassim, Al Rayyan, Qatar, pada Selasa (13/12/16) lalu.

Kisah Faysal dan Murtaza di atas hanya ingin menggambarkan betapa kerasnya kehidupan di Afghanistan. Faysal dan Murtaza mungkin hanya sebagian kecil dari semangat putra asli Afghanistan yang berjuang keras demi meneruskan mimpi bermain sepakbola.

1.7K