Berawal dari Restoran Cepat Saji dan Sokongan dari Klub Kiri: Kisah Klub Pengungsi di Jerman
Sabtu pagi di akhir Agustus 2013, seorang pria berdarah Jerman menunggu di luar sebuah restoran cepat saji di pinggiran kota Hamburg, Jerman. Pria tersebut tengah menunggu sejumlah rekan-rekannya yang akan bersiap menuju kota Prignitz, sebuah tempat yang berada di antara Hamburg dan Berlin.
Setelah beberapa lama menunggu, rekan-rekannya tersebut datang menghampiri si pria dan langsung menuju stasiun kereta terdekat. Mereka ini ialah skuat sepakbola sebuah klub amatir yang mayoritas penggawanya berasal dari pengungsi Libya.
Dalam balutan jaket dan sweater yang mereka gunakan, jersey sepakbola yang warnanya sangat identik dengan warna jersey Tim Catalan juga mereka gunakan. Mereka menuju kota Prignitz untuk ikut ambil bagian pada sebuah turnamen sepakbola di kota itu yang mengusung tema Melawan Rasis Lewat Sepakbola.
Orang-orang inilah yang menjadi pendiri klub bernama FC Lampedusa, klub sepakbola yang didirikan pengungsi Libya di Jerman. Sedari awal berdirinya klub ini, FC Lampedusa ingin menyiarkan bahwa para pengungsi masih bisa memiliki kesempatan untuk hidup lebih baik lewat jalur sepakbola.
Beruntung bagi para pengungsi Libya di kota Hamburg, berbeda dengan kota-kota di Jerman lain, warga di kota Hamburg lebih bisa menerima keberadaan para pengungsi ini. Bahkan berdirinya FC Lampedusa mendapat dukungan penuh dari warga Hamburg.
Sejak berdiri, FC Lampedusa membuat keluarga pengungsi ini seolah tenang atas aktifitas anak-anak mereka. Sebagian besar anak-anak dari Libya ini sejak FC Lampedusa berdiri aktif berlatih sepakbola di klub ini.
Anak-anak para pengungsi Libya ini mendapat kesempatan untuk bisa merasakan kembali dunia setelah sekian lama harus berjuang lepas dari 'nerak' dunia akibat konflik tak berkesudahan.
Mereka tiap akhir pekan akan bertandang ke Berlin, Cologne, atapun Flensburg untuk ikut dalam kompetisi sepakbola. Bahkan anak-anak dari klub ini sempat berpergian ke Swiss untuk bertanding sepakbola.