Karena Sepakbola Dimainkan oleh Manusia, Bukan Robot
Kondisi fisik dan psikologis manusia tidaklah statis, selalu megalami perubahan dari waktu ke waktu, dan tak melulu ke arah yang lebih baik. Meningkatnya usia tidak mesti sejalan dengan membaiknya fisik, apalagi psikis. Hal ini kadang dilupakan oleh praktisi sepakbola.
Secara kasar, aspek fisik pesepakbola boleh saja bisa teratasi dengan menyediakan dokter, fisioterapis dan ahli kesehatan bidang olahraga lain. Untuk meng-handle psikis, pihak klub bisa menjamin asuransi kesehatan lewat janji akan mendapat penanganan terbaik.
Lalu bagaimana kalau suatu ketika ada pesepakbola yang kariernya harus tamat karena cedera yang sangat parah? Padahal sepakbola bagi mereka lebih dari sekadar pekerjaan, hobi, atau jalan hidup?
Inggris memiliki sedikitnya tiga kompetisi, yakni Liga Inggris, Piala Liga, dan Piala FA. Banyak yang dikorbankan ketika pesepakbola tidak bisa melawan sistem dan mau tak mau harus tetap bermain sekalipun tubuh mereka menolak.
Tidak hanya soal fisik semata, Liga Inggris seakan terlampau liberal; memisahkan jurang antara kehidupan pribadi sebagai manusia dengan Tuhan dan dengan sepakbola itu sendiri. Contoh nyatanya adalah tetap memainkan pertandingan di hari besar agama.
Banyak pelaku sepakbola yang menyayangkan adanya pemberlakuan ini. Boxing Day menjadi satu contoh sahih bagaimana otoritas kompetisi/liga bersikeras menggelar pertandingan di hari suci bagi pemeluk agama.
Manajer sekaliber Jose Mourinho dan Sir Alex Ferguson saja pernah mengeluhkan adanya pertandingan sepakbola di hari besar agama. Padahal menurut mereka pemain juga harus beristirahat dan meluangkan waktu dengan keluarga, terlepas apakah itu karena hari libur keagamaan atau tidak.
Sistem menepikan agama dan terlihat seperti menepikan urusan manusia dengan agama atau Tuhannya. Apa saja yang berpeluang 'mengganggu' akan ditabrak demi kepuasan dan kepentingan pihak-pihak tertentu. Ujung-ujungnya, hak siar menjadi alasan utama.
Dari sisi fisik, mungkin akan ada argumen "Pesepakbola bekerja dengan memenangkan pertandingan, dibayar oleh klub, dan dilepas jika sudah tak mampu bersaing". Belum lagi pemain sepakbola harus berpindah dari satu kota ke kota lain dalam waktu berdekatan tanpa mengindahkan faktor psikis. Semua dilawan dengan satu kata: Profesionalitas.
Di sini saja, terlihat bagaimana sepakbola sudah tidak memanusiakan manusia lagi. Praktisi sepakbola sudah dianggap robot, bukan lagi manusia.