Karena Sepakbola Dimainkan oleh Manusia, Bukan Robot
Dunia si kulit bundar kerap kali dipenuhi pro dan kontra, sekalipun mengenai hal yang dirasa baik bagi perkembangan sepakbola itu sendiri, salah satunya adalah penggunaan teknologi.
Mantan Presiden UEFA, Michael Platini menolak adanya penggunaan teknologi dalam sepakbola. Ia mengritik keras teknologi garis gawang ketika masih berkantor di Swiss. Pendapatnya mengenai keengganannya terhadap penerapan teknologi semacam itu cukup masuk akal; teknologi akan merusak indahnya sepakbola.
Platini yang dihukum selama empat tahun sejak Desember 2015 akibat pelanggaran kode etik itu lebih menyukai 5 wasit ketimbang menggunakan teknologi. Ia merasa jika sepakbola tak bisa menghilangkan sisi humanis. Lebih jauh, jika keputusan-keputusan di sepakbola ditentukan lewat teknologi, lalu apa gunanya wasit?
Dinilai secara objektif, adanya teknologi dalam sepakbola memang tak bisa dipungkiri manfaat besarnya. Banyak keputusan-keputusan kontroversial di atas lapangan bisa saja diminimalisir jika saat itu sudah diterapkan teknologi yang beragam, seperti VARs (Video Assistant Referees), Mata Elang, penggunaan chip, Goal Line Technology dan lain-lain.
Bulan Juni tahun lalu, International Football Association Board (IFAB), sebuah badan yang memiliki wewenang dalam menentukan Laws of the Game, bersama dengan FIFA meyetujui pengembangan teknologi rekaman video. Cara ini lalu diujicobakan di sejumlah pertandingan, termasuk di Piala Dunia Antar Klub yang dimenangi Real Madrid tahun 2016 kemarin.
Pelatih kepala Los Blancos, Zinedine Zidane, masih abu-abu perihal setuju atau tidaknya dia terhadap penggunaan VARs dan Goal Line Technology (teknologi garis gawang). Ia hanya meminta FIFA untuk lebih mensosialisasikan penerapannya.
"Kita harus beradaptasi dengan apa yang FIFA inginkan. Dalam hal gol Ronaldo ada sedikit kebingungan. Sesuatu harus lebih jelas, tapi kita harus beradaptasi. Meningkatkan sesuatu bagus untuk sepakbola. Tapi ini harus lebih jelas untuk semua orang dan untuk saat ini tidak," kata Zidane di konferensi pers usai mengalahkan Club America di semifinal Piala Dunia Antar Klub 2016 silam.
Berbeda dengan Zidane yang belum bisa memberikan penilaian, Luka Modric secara tegas menolaknya. Hampir sama dengan pelatihnya, gelandang asal Kroasia itu merasa penggunaan teknologi tersebut hanya akan membuat bingung para pemain dan penonton.
"Sejujurnya, bantuan video adalah inovasi terbaru yang tidak saya sukai. Hal itu menimbulkan banyak kebingungan dan bagi saya itu bukan sepakbola," ujar Modric seperti dikutip dari Marca Desember lalu.
Satu argumen paling kuat datang dari Giuseppe Marotta, petinggi Juventus. Ia secara tegas menolak penggunaan rekaman ulang di dunia sepakbola untuk memudahkan kinerja wasit. Pria 57 tahun ini menganggap pemakaianya tak banyak membantu sang pengadil.
"Juve dengan tegas menolak penggunaan rekaman video di tengah laga. Hal tersebut akan mengubah kodrat alami sepakbola yang didasarkan pada pergerakan tanpa henti. Selain itu, rekaman video juga tidak selalu membuat situasi menjadi jelas," ungkap Marotta seperti dilansir Gazzetta Dello Sport.
VARs sudah diterapkan di kompetisi resmi, tepatnya A-League (Liga Australia). A-League menjadi liga pertama di dunia yang menerapkan penggunaan video replay untuk membantu wasit dalam membuat keputusan.