Karena Sepakbola Dimainkan oleh Manusia, Bukan Robot
Sepakbola dan bisnis belakangan ini menjadi dua hal yang tak terpisahkan. Demi menyelamatkan klub dari kebangkrutan dan agar terus bisa menjamin roda ekonomi tim, pintu dibuka lebar bagi para investor asing seperti dari Timur Tengah, Rusia, atau Amerika Serikat. Tak jarang, klub menjual ruh atas nama kepentingan bisnis semata.
Cardiff City misalnya, pernah mengganti warna kebesaran klub dari biru menjadi merah. Alasannya sangat menggelitik; karena sang pemilik klub menyukai dan menganggap warna merah sebagai lambang kekuatan serta keberuntungan.
Kisah lain yang lebih jamak terjadi yakni menjual nama stadion ke pihak swasta. Bayern Munchen misalnya, membangun stadion baru dengan nama Allianz Arena karena 'pernikahan kontrak' dengan perusahaan asuransi raksasa dunia.
Perputaran dana ratusan juta pounds adalah indikasi bahwa sepakbola telah menjadi sebuah indsutri bisnis yang menguntungkan bagi segenap pelakunya. Tak heran kini banyak kalangan yang melabeli sepakbola dengan istilah sportainment; olahraga dikemas sedemikian rupa agar menjadi tontonan yang tak lebih dari sekadar jualan yang menghibur.
Singkatnya, sepakbola dianggap telah bertransformasi sebagai sebuah perputaran bisnis, agen dari modernisasi, yang menjunjung tinggi nilai-nilai kapitalisme dan globalisasi.
Lagi-lagi tidak bisa dipungkiri, perputaran uang yang semakin kencang memang menguntungkan sepakbola dari sisi komersial. Faktor lain seperti infrastruktur, kualitas, dan program-program internal klub menjadi lebih tertata dan jelas arahnya. Namun di sisi lain, bisnis dalam sepakbola yang terlampau mendominasi tiap sendi justru akan menghilangkan esensi dari 'permainan sepakbola' itu sendiri.
Sepakbola seharusnya tidak lebih dari permaianan tendang menendang bola, siapa yang cetak gol lebih banyak dia yang menang. Suporter lalu muncul sebagai 'pemanis'. Kehadirannya memunculkan drama dan romantisme, baik itu bagi suporter maupun tim yang didukungnya. Komersialisasi tentu saja boleh, tapi tidak bisa terlampau batas, sama saja seperti Hak Asasi Manusia (HAM), tentu tak bisa kebablasan.
Fatalnya, otak-otak bisnis menganggap sepakbola berserta suporternya sebagai robot penghasil emas. Suporter dicap sebagai konsumen sejati yang rela menghabiskan banyak uang demi klub yang ia cinta. Tidak usah jauh-jauh, bila dipikir secara jernih, sebenarnya apa tujuan dari jersey ketiga kalau bukan sebagai 'cara terakhir meraup uang'?
Sepakbola adalah game of people, sepakbola punya jiwa dan raganya sendiri.