Alasan Klub Indonesia Suka Pakai Julukan Nama Hewan

Sabtu, 8 Juli 2017 13:10 WIB
Editor: Tengku Sufiyanto
© GTS
undefined Copyright: © GTS
undefined
Warisan Nenek Moyang hingga Menjadi Identitas Daerah

Dalam catatan sejarah, kepercayaan dalam bentuk agama baru masuk pada abad kedua dan keempat. Kala itu, yang pertama kali masuk adalah Hindu dan Budha. Kedua agama tersebut dibawa oleh para pedagang dari India dan China yang masuk ke wilayah Sumatera dan Jawa. Hindu dan Budha disebarkan hingga masuk ke dalam kerajaan seperti Kutai, Sriwijaya, Majapahit dan Sailendra.

Kemudian Islam dan Kristen. Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13 yang dibawa oleh pedagang-pedangan Gujarat dari Persia dan Timur Tengah, melalui kerajaan Samudra Pasai di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Sementara Kristen baru menyebar meluas di Indonesia pada abad ke-16, tapi masuknya abad ketujuh.

Jauh sebelum itu, kepercayaan di Indonesia menganut animisme, dinamisme, dan lain-lain. Animisme merupakan kepercayaan terhadap kekuatan roh nenek moyang. Sementara Dinamisme adalah kepercayaan bahwa setiap benda-benda memiliki kekuatan gaib.

Kepercayaan yang berkembang dari animisme hingga masuknya agama, membuat masyarakat Indonesia memililiki ajaran masing-masing. Bahkan, ada ajaran menganggap sebuah hewan menjadi sakral.

Pada akhirnya, hewan yang dianggap sakral perlahan menjadi identitas dan bagian dari budaya sebuah daerah, seiring perkembangan pemikiran masyarakat Indonesia tentang sebuah ajaran. Misalnya kerbau dan sapi.

© Taufik Hidayat/Football265.com
Syamsul Bahri (Semen Padang) Copyright: Taufik Hidayat/Football265.comPara pemain Semen Padang.

Kerbau menjadi identitas Sumatera Barat. Konon, kerbau menjadi hewan favorit masyarakat Minang, orang asli Sumatera Barat, untuk membantu manusia melakukan hal yang mampu menghasilkan sesuatu untuk keberlangsungan hidup, seperti membajak sawah dan pemeras tebu. Air tebu hasil perasan sang kerbau yang kemudian menjadi cikal bakal pembuatan gula merah, hasil bumi tradisional Sumatera Barat. Hingga saat ini, hewan kerbau masih digunakan masyarakat Sumatera Barat untuk memeras tebu.

Hubungan kerbau dan orang Minang makin erat.  Konon, kerbau membantu masyarakat di Sumbar menang perang melawan suku Jawa. Sehingga, munculah istilah Minangkabau.

Minangkabau berasal dari dua kata, yakni Minang dan Kabau. Minang berarti kemenangan, dan Kabau adalah kerbau.
Cerita yang berkembang, penamaan itu muncul setelah kemenangan pertandingan adu kerbau untuk mengakhiri peperangan melawan kerajaan besar dari Pulau Jawa.

Dari sanalah, kerbau sangat identik dengan Sumatera Barat. Hal itu pula yang membuat klub sepakbola kebanggaan Sumatera Barat, mengambil julukan Kabau Sirah.

Kabau Sirah diambil dari dua kata, yakni Kerbau dan Sirah berarti Kerbau, dan Sirah artinya merah.

Kerbau diambil karena sejarah panjang masyarakat Minangkabau. Sementara, Sirah menggambarkan sifat masyarakat Sumatera Barat, yakni pantang menyerah dan pemberani. Tak ayal, masyarakat Minangkabau ketika dewasa sangat berambisi positif untuk merantau dan mencari kesuksesan.

© Ian Setiawan/INDOSPORT
Skuat Madura United memberi ucapan terima kasih kepada dukungan suporter Madura. Copyright: Ian Setiawan/INDOSPORTSkuat Madura United FC.

Sapi sendiri menjadi identitas Pulau Madura. Dahulu kala, masyarakat Pulau Madura sangat gemar untuk berternak sapi. Masyarakat Madura sangat handal dalam melakukan ternak sapi.

Mereka menyayangi sapi seperti keluarga sendiri. Tak ayal, masih banyak masyarakat Madura yang menaruh sapinya di dalam rumah.

Sapi digunakan sebagai tabungan masa depan yang bermanfaat, membantu manusia untuk berkerja menghasilkan kebutuhan primer dari hasil bumi, hingga ritual kerpercayaan.

Dikutip dari penelitian seorang senior ahli ilmu antropologi asal Belanda, Huub de Jonge dalam artikel "Of Bulls and Men: The Madurese Aduan Sapi", ritual yang menggunakan sapi di Madura adalah dengan metode aduan dan karapan. Aduan sapi lahir sesudah karapan sapi.

Konon, aduan sapi untuk memohon kesuburan tanah dan produktivitas hasil bumi. Sementara, karapan sapi pertama kali dipopulerkan oleh Pangeran Katandur yang berasal dari Pulau Sapudi, Sumenep pada abad 13.

Karapan sapi lahir dari Pangeran Katandur yang ingin memanfaatkan tenaga hewan tersebut sebagai pengolah sawah. Masyarakat Madura yang sangat hormat kepada pangeran mengikuti jejaknya. Alhasil, tanah menjadi subur.

Selanjutnya, Pangeran Katandur berinisiatif untuk mengajak warga di desanya untuk mengadakan balapan sapi, sebagai rasa syukur kepada Sang Pencipta. Sehingga, karapan sapi sebagai budaya turun menurun hingga saat ini. 

Saat ini, karapan sapi pun sebagai pesta rakyat yang dilaksanakan setelah sukses menuai hasil panen padi atau tembakau. Karapan sapi pun terkenal hingga pelosok luar negeri sebagai budaya Madura.

Budaya itulah yang kemudian diambil Madura United FC sebagai julukannya, yakni Sapeh Kerrab. Sapeh Kerrab bahasa Madura yang berarti karapan sapi, untuk menunjukkan identitas daerah.

3.5K