Sepakbola adalah satu di antara banyak cabang olahraga yang paling banyak digemari masyarakat di seluruh dunia. Kegemaran masyarakat menonton sepak bola membuat penonton yang di kenal dengan sebutan suporter mempunyai kelompok-kelompoknya sendiri.
Kelompok suporter tersebut berdiri dan membentuk wadah berdasarkan kesamaan dan hobi, seperti saat mendukung kesebelasannya bertanding di lapangan, dan gaya mereka berpakaian saat mendukung kesebelasan kesayangannya bertanding.
Nah, Jika berbicara mengenai gaya berpakaian para suporter sepak bola, sudah pasti terlintas akan Sub kultur casuals yang telah banyak mempengaruhi gaya berpakaian para suporter sepakbola di seluruh dunia.
Apasih Sub kultur casuals?, Dihimpun dari berbagai sumber, Football265.com coba mengulas sub kultur casuals dalam dunia sepak bola, berikut ini ulasannya.
Sub kultur casuals dapat dikategorikan menjadi sebuah budaya dalam cabang olahraga sepakbola, yang identik dengan hooligansime dan pakaian-pakaian bermerk dengan harga yang mahal.
Pada akhir dekade 70-an, di Britania Raya, banyak suporter klub-klub sepak bola, mulai mengenakan pakaian bermerk dengan harga mahal untuk menghindari perhatian aparat kepolisian.
Mereka tidak lagi mengenakan atribut-atribut berlogo klub kesayangan, bukan tanpa alasan, hal tersebut mereka lakukan agar tidak dikenali, sehingga lebih mudah untuk menyusup ke kelompok musuh atau masuk kedalam pub dan bar.
Gaya berpakaian para casuals juga banyak dipengaruhi oleh berbagai jenis aliran musik. Para casuals diketahui menyukai jenis musik beraliran Oi!, Mod, dan Ska.
Namun, pada akhir dekade 80-an dan 90-an awal, mereka cenderung menyukai scene Madchester (The Stone Roses), Britpop, dan Rave.
Ada pengaruh kuat dari budaya Rave terhadap Casuals, rave sendiri cenderung menyerukan perdamaian, sehingga banyak dari Casuals ini yang mengenakan pakaian-pakaian khas mereka, namun justru menjauhkan diri dari tindak hooliganisme.
Asal-usul budaya Casuals sendiri dapat dilihat dalam sub kultur Mod pada awal 60-an. Para pemuda pengikut sub kultur Mod, mulai membawa gaya berpakaiannya ke dalam ranah sepak bola, begitupun dengan pengikut-pengikut sub kultur lain seperti Skinhead, yang juga membawa gaya berpakaiannya kedalam olahraga sepak bola.
Ditandai dengan kebangkitan sub kultur Mod pada akhir 70-an, Casuals mulai tumbuh dan berubah, setelah pendukung kesebelasan Liverpool, memperkenalkan merk-merk fashion Eropa yang mereka peroleh saat menemani klub kesayangan mereka bertanding melawan klub Perancis, Saint Etienne.
- Tak Hanya PSSI, AFC Juga Denda Malaysia akibat Ulah Suporter di SEA Games
- Suporter Berulah, AFC Resmi Sanksi Indonesia
- Waspadai Amukan Suporter, Pelatih Persegres Siapkan Helm Saat Latihan
- Lempar Air Pipis ke Suporter Lawan, Fans Tottenham Dihukum Seumur Hidup
- Dukungan Suporter Buat Pelatih Semen Padang Merinding
Para pendukung Liverpool yang menemani klub kesayangan mereka menjalani laga melawan klub-klub Eropa, pulang ke Inggris dengan membawa pakaian-pakaian bermerk dari Italia dan Perancis, yang mereka dapatkan dari hasil menjarah toko-toko.
Pada saat itu, para polisi masih fokus kepada para pendukung yang bergaya Skinhead, dengan sepatu bot khasnya, Dr. Martens, dan tidak memperhatikan para penggemar yang menggunakan pakaian-pakaian mahal karya desainer-desainer ternama.
Para pendukung Liverpool kemudian membawa lagi merk-merk pakaian yang tidak pernah dijumpai sebelumnya di Inggris. Dan para pendukung klub-klub lain pun mulai memburu merk-merk Eropa yang masih langka di Inggris.
Adapun para pendukung Liverpool masih identik dengan Lacoste Shirt dan Adidas Training hingga saat ini.
Label pakaian yang terkait dengan Casuals pada tahun 1980 meliputi: Edinburgh Woollen Mill, Fruit of the Loom, Fila, Stone Island, Fiorucci, Pepe, Benetton, Sergio Tacchini, Ralph Lauren, Henri Lloyd, Lyle & Scott, Adidas, CP Company, Ben Sherman, Fred Perry, Lacoste, Kappa, Pringle, Burberry dan Slazenger.
Trend berpakaian terus berubah dan sub kultur Casuals mencapai puncaknya pada akhir 1980-an.
Dengan lahirnya scene musik Acid House, Rave and Madchester. Dan kekerasan dalam sub kultur Casuals memudar hingga batas tertentu.
Namun, pada pertengahan 1990-an, sub kultur Casuals mengalami kebangkitan besar, tetapi penekanan pada gaya berpakaian telah sedikit berubah.
Banyak para penggemar sepak bola mengadopsi Casuals tampak sebagai semacam seragam, mengidentifikasi bahwa mereka berbeda dari pendukung klub biasa.
Pada akhir 1990-an, banyak pendukung sepak bola mulai bergerak menjauh dari merk-merk yang dianggap seragam Casuals, karena polisi mulai memperhatikan tindak tanduk dari para Casuals.
Casual fashion telah mengalami peningkatan popularitas di tahun 2000-an, setelah beberapa band-band Inggris seperti The Streets dan The Mitchell Brothers menggunakan pakaian kasual olahraga dalam video musik mereka.
Ditambah lagi, budaya Casuals pun telah diangkat ke dalam media visual seperti film-film dan program televisi seperti ID, The Firm, Cass, The Real Football Factory dan Green Street Hooligans 1 & 2.
Pada tahun 2000-an, label pakaian yang terkait dengan pakaian Casuals termasuk: Stone Island, Adidas Originals, Lyle & Scott, Fred Perry, Armani, Three stroke, Lambretta, Pharabouth dan Lacoste.
Menjelang akhir dekade 2000-an banyak Casuals yang menggunakan label-label independen seperti Albam, YMC, APC, Folk, Nudie Jeans, Edwin, Garbstore, Engineered Garments, Wood Wood dan Superga.
Tetapi, merk besar seperti Lacoste, Ralph Lauren dan CP Company masih popular di kalangan para Casuals.
Seiring berkembangnya zaman dan teknologi, para Casuals pun kini tidak lagi terpaku pada merk-merk ternama. Hal tersebut berdasar atas arti casual itu sendiri, yang berarti pakaian yang nyaman untuk dipakai.
"Fashion kini tidaklah begitu kami perhatikan, yang penting pakaian itu nyaman, simple dan enak dipakai saat ada Pertarungan sekalipun,” ucap seorang Casual, seperti dilansir dari laman Vice.com.
Datanglah dengan pakaian kebanggaanmu, Bernyanyilah, dan Mainkan Passion-mu. Jangan jadikan Fashionmu hanya sebagai Penghancur Passionmu di tribun-mu.