FOOTBALL265.COM - Lagi dan lagi AC Milan harus gagal lolos ke Liga Champions. I Rossoneri kalah satu poin dari Inter Mian yang duduk di peringka empat pada klasemen akhir 2018/19.
Termasuk musim depan, Milan kini sudah enam musim beruntun absen di kompetisi tertinggi di Eropa tersebut.
I Rossoneri tentunya ingin bangkit. Manajemen ingin mendatangkan pemain-pemain terbaik demi mewujudkan mimpi tersebut.
Sayang, sanksi Financial Fair Play (FFP) menjegal mereka. Selepas musim 2017/18, Milan divonis melanggar aturan FFP karena menderita kerugian yang melewati batas yang sudah ditetapkan UEFA.
CEO AC Milan, Ivan Gazidis, pun terus bekerja keras untuk meyakinan UEFA sekaligus memastikan Milan sanggup menutup kerugian yang ada hingga batas akhir musim 2020/21.
Jika hal tersebut gagal dilakukan, sanki larangan tampil di kompetisi Eropa bakal diberlakukan kepada Milan pada musim 2022/2023 dan 2023/2024.
Punya Uang Banyak Tapi Tak Bisa Belanja
AC Milan, selepas diambil alih Elliott Management, sejatinya memiliki dana besar untuk belanja pemain. Namun, 'dosa' yang dilakukan pemilik sebelumnya, Yonghong Li, membuat dana itu tersimpan percuma.
AC Milan mencatat rekor baru kerugian sebesar 126 juta euro untuk tahun finansial 2017/18. Hal ini tak terlepas dari pengeluaran besar yang dilakukan Milan di awal musim tersebut.
Di bawah Yonghong Li, Milan menggelontorkan dana lebih daru 200 juta euro untuk belanja 11 pemain. Padahal, di masa-masa akhir kepemilikan Berlusconi, Milan juga sudah merugi puluhan juta euro. Hasilnya, Milan tetap gagal berprestasi.
Elliott Management yang telah memperkerjakan nama-nama seperti Paolo Scaroni (Presiden klub), Paolo Maldini (Direktur Teknik), dan Ivan Gazidis (CEO) pun memiliki pekerjaan rumah besar, yakni membangkitkan Milan di tengah-tengah jerat FFP.
Masalah Sederhana dengan Solusi Rumit
Sederhananya, Milan harus mampu menutup kerugian yang mereka derita melalui pemasukan yang didapat sampai batas akhir musim 2020/21.
Namun, ternyata hal itu tak mudah begitu saja. Saat ini misalnya, I Rossoneri gagal lolos Liga Champions.
Kegagalan itu menghilangkan potensi keuntungan sebesar sekitar 50 juta euro. Main di Liga Europa tak cukup memberikan keutungan untuk Milan.
Liga Europa juga membuat bintang-bintang dunia enggan main di San Siro dengan harga miring.
Di satu sisi, Milan ingin agar bisa secepat mungkin bersaing di level tertinggi. Namun, di sisi lain, mereka masih belum mampu menyeimbangkan neraca keuangan. Lalu, bagaimana solusi tercepat untuk masalah ini?
2 Era 'Medioker' Milan
Sebelum membahas lebih jauh, mianisti dan pengamat sepak bola secara umum perlu bedakan dua era 'medioker' yang dialami Milan pasca musim 2012/2013.
Pada masa-masa akhir kepemimpinan Berlusconi, Milan terlempar dari empat besar Serie A karena perusahaan milik Berlusconi, Fininvest, mengalami kerugian.
Milan secara bertahap terus menjual bintangnya dan mendatangkan pemain-pemain 'nanggung'. Inilah era pertama dari masa 'medioker' yang menimpa Milan.
Lalu, era ini berlanjut saat Milan jatuh ke tangan Yonghong Li pada 2017. Saat itu, walau dengan uang besar, Milan masih gagal tembus empat besar Serie A. Manajemen malah menambah beban baru, yakni sanksi FFP.
Kondisi ini pun berlanjut ke musim 2018/19. Dengan belanja seadanya, Milan hanya sanggup finis di posisi kelima dan gagal ke Liga Champions.
Korbankan Donnarumma atau Medioker 'Selamanya'
Lalu, bagaimana cara terbaik agar Milan secepat mungkin bangkit dari keterpurukan?
Jika menganalisis masalah yang ada, yang dibutuhkan Milan saat ini sejatinya bukanlah pemain megabintang, melainkan neraca keuangan yang seimbang.
Untuk itu, sudah sepatutnya manajemen memfokuskan diri dalam menyeimbangkan neraca keuangan. Bagaimana caranya? Jalan pintas tercepat tentu saja dengan menjual pemain-pemain bintang yang ada.
Nama yang paling masuk akal untuk dilepas adalah Gianluigi Donnarumma. Berat bagi Milanisti menyaksikan Donnarumma pergi dari Milan.
Namun, dengan nilai transfer minimal 60 juta euro, Milan bisa mendapatkan pemasukan yang signifikan.
Cara ini tentunya diikuti dengan menjual pemain-pemain yang tak berkontribusi besar bagi prestasi klub, apalagi yang bergaji besar.
Milan tak perlu berharap pembelian pemain besar musim panas ini. Cukup membeli pemain-pemain muda potensial yang bisa mengangkat Milan setidaknya di posisi enam besar untuk dua musim ke depan.
Langkah ini lebih efektif ketimbang memaksakan membeli pemain (yang ujung-ujungnya) bintang 'kelas dua' dan mempertahankan sosok seperti Donnarumma. Milan pun hanya akan berakhir seperti musim 2018/19 dan terus terjerat Financial Fair Play.
Mengapa Donnarumma? Saat ini di posisi tersebut Milan telah memiliki kiper muda bernama Alessandro Plizzari. Milan bisa berharap lebih pada dirnya.
Selain Donnarumma, Milan juga bisa melepas dua pemain yakni Suso dan Andre Silva untuk menyeimbangkan neraca keuangan. Milan cukup pertahankan tiga nama penting, yakni Lucas Paqueta, Alessio Romagnoli, dan Krzysztof Piatek.
Jika neraca keuangan tercapai, secepatnya pada musim 2019/20 atau selambatnya 2020/21 Milan bisa belanja pemain-pemain mahal dunia.