In-depth

Lukaku dan 'Penghormatan' Absurd ala Ultras Liga Italia

Kamis, 5 September 2019 07:06 WIB
Editor: Prio Hari Kristanto
 Copyright:
Frustrasinya Lukaku

Frustrasinya Lukaku

Kondisi ini bisa dibilang menjadi hal yang frustratif bagi Lukaku. Di belahan Eropa lainnya, apa yang ditunjukkan oleh fans Cagliari secara luas dikenal sebagai sikap yang rasial. 

Terutama jika kita membicarakan kultur di sepak bola Inggris modern. Jika ini terjadi di Liga Primer, maka secara mutlak hal ini disebut sebagai tindakan rasis, baik itu oleh klub, pemain, maupun suporter secara umum. 

Tapi nyatanya, apa yang terjadi di Inggris, tempat di mana Lukaku menghabiskan delapan tahun karier sepak bolanya, berbeda dengan di Italia. Setidaknya begitu yang dipahami pendukung garis keras Inter Milan.

Sejauh ini, belum ada pernyataan resmi dari Romelu Lukaku untuk menanggapi sikap dari sebagian pendukung timnya itu. 

Rasisme Musuh Sepak Bola

INDOSPORT sebagai media yang memberitakan olahraga dan sepak bola tentu menjunjung tinggi nilai-nilai sportivitas. 

INDOSPORT pun secara lantang menentang segala tindakan rasisme dalam sepak bola dan olahraga lainnya. Secara khusus, kami sangat menyesali kejadian yang menimpa Romelu Lukaku pada pertandingan Cagliari vs Inter Milan di Sardegna Arena, Sardinia, Minggu (01/09/19). 

Italia bukanlah sebuah pengecualian. Italia pun sama seperti tempat-tempat di belahan dunia lainnya di mana rasisme adalah musuh dalam sepak bola. Bagi Ultras Inter, apa yang menimpa Lukaku mungkin dianggap baik, tetapi sebenarnya tidak. 

Jika kita menjadikan aturan sebagai tolok ukur, maka jelas apa yang menjadi pemahaman dari Curva Nord adalah kekeliruan.

FIFA, sebagai induk sepak bola tertinggi dunia, selalu memberikan perhatian besar terhadap kasus-kasus seperti ini. Aturan kian dipertegas dan sanksi berat telah disiapkan bagi siapa pun yang berperilaku rasis.

Tindakan rasisme khususnya di dunia sepak bola masih jadi pekerjaan rumah untuk federasi sepak bola dunia, FIFA, dalam memberantasnya. 

Padahal, otoritas sepak bola tertinggi tersebut bersama seluruh federasi yang menjadi anggotanya acap kali mengampanyekan untuk menghilangkan tindakan rasis dalam bentuk spanduk bertuliskan "Say No To Racism" sebelum pertandingan.

Tak hanya itu, di Eropa bahkan ban kapten yang melingkar di lengan kiri seorang pemain juga bertuliskan Say No To Racism. Namun, tetap saja perilaku rasisme dari suporter di Rusia, Italia, dan negara lain terjadi baik dalam skala kecil maupun besar. 

Di sepak bola Indonesia sendiri, berkaitan dengan insiden rasisme yang tengah memanas akhir-akhir ini terkait isu Papua, sejumlah klub Liga 1 2019 ikut mengampanyekan anti-rasisme dengan memberi dukungan kepada seluruh pemain yang berasal dari Bumi Cendrawasih.

Namun, dengan terus berulangnya praktik rasisme di sepak bola di setiap musimnya di berbagai liga, serta masih lemahnya tindakan tegas dari federasi serta FIFA, maka kampanye "Say No To Racism" malah terkesan hanya sebuah slogan semata. 

FIFA, dalam Kode Disiplin tentang Rasisme di Pasal 13.2, sudah mencatumkan aturan tegas mengenai perilaku rasisme di sepak bola beserta sanksinya. 

Dalam poin-poin tersebut, tercantum sanksi nyata yang melingkupi pemain, suporter, sampai klub yang kedapatan melakukan praktik rasisme.

Cagliari pun jelas harus dikenakan sanksi atas perilaku yang ditunjukkan suporternya, karena hal ini sudah diatur pada ayat kedua. 

"2. Jika satu atau lebih penggemar federasi atau klub mengadopsi perilaku yang dijelaskan dalam bagian satu, maka tindakan disipliner berikut dapat dikenakan pada federasi atau klub yang bertanggung jawab."

Hukuman yang bisa diberikan pun berupa pertandingan tanpa penonton dan denda setidaknya 18 ribu euro. Jika kasus berulang, maka yang paling parah Cagliari bisa mendapat pengurangan poin sampai dikeluarkan dari kompetisi (degradasi).

Namun, kenyataanya, Cagliari yang berulangkali berurusan dengan kasus rasisme kerap lolos dari hukuman. Misal, pada kasus yang menimpa Moise Kean di mana mereka bebas dari tuduhan pelanggaran rasial walau sudah masuk investigasi FIGC. 

Contoh lain adalah klub Zenit Saint Petersburg di Rusia yang tak pernah benar-benar dikenakan hukuman dari federasi setempat walau secara gamblang suporternya mengampanyekan tradisi anti-pemain kulit hitam. 

Sanksi atau hukuman tegas jelas harus diberikan bagi klub, pemain, atau siapa pun yang melakukan praktik rasisme di sepak bola. Apalagi, hal itu sudah tercantum jelas dalam aturan FIFA. 

Di sinilah peran aktif dari federasi negara setempat sangat dibutuhkan. Federasi harus sejalan dengan FIFA karena aturan dan sanksi sudah tercantum jelas. 

Mengandalkan edukasi saja jelas tidak cukup. Belajar dari sikap Ultras Inter terhadap Romelu Lukaku, seharusnya kita tahu sudah seberapa dewasa dan cerdas mereka untuk bisa menyebut menirukan suara monyet sebagai bentuk rasisme.