In-depth

Kisah Bakat Muda Indonesia: Bersinar di Luar, Melempem di Tanah Sendiri

Senin, 21 Oktober 2019 17:06 WIB
Penulis: Subhan Wirawan | Editor: Arum Kusuma Dewi
© Ilustrasi/INDOSPORT
Kisah bakat muda Indonesia, bersinar di luar melempem di tanah sendiri Copyright: © Ilustrasi/INDOSPORT
Kisah bakat muda Indonesia, bersinar di luar melempem di tanah sendiri

FOOTBALL265.COM - Berikut kisah para bakat muda Indonesia yang berhasil bersinar saat bermain di luar negeri, namun malah melempem ketika tampil di tanah sendiri.

Dalam beberapa tahun ke belakang memang banyak bakat muda Tanah Air yang berkarier dan menimba ilmu di luar negeri. Mulai dari tampil bersama tim akademi Eropa hingga mengikuti program pelatihan dari PSSI seperti Garuda Select.

Bahkan pada musim ini tak sedikit pemain Indonesia yang gemilang dengan tim asingnya. Sebut saja seperti Yussa Nugraha yang akhirnya mendapat debut perdana bersama HBS Craeyenhout di Derde Divisie atau kasta keempat Liga Belanda.

Ada juga Helmy Putra Damanik, yang berhasil membawa klub Spanyol, CD Villamuriel memenangkan laga dalam ajang Divisi Regional A Spanyol melawan Candeleda dengan skor 4-0 pada 12 Oktober 2019 lalu.

Divisi Regional sendiri merupakan kompetisi yang berada satu kasta di bawah divisi empat Liga Spanyol. Saat ini, klub dengan warna hijau itu menempati posisi ke-12 dari 18 kontestan dengan enam poin.

Nama yang tak kalah dan menjadi langganan Timnas seperti Egy Maulana Vikri serta Saddil Ramdani pun tampil impresif. Egy Maulana tercatat telah mengoleksi 16 gol dari 21 pertandingan bersama tim Lechia Gdansk II.

Sedangkan Saddil Ramdani berhasil menjadi pilihan utama pelatih Pahang FA demi mengarungi Liga Malaysia musim ini. Total mantan pemain Persela Lamongan tersebut telah mengoleksi 21 caps dan mencetak 2 gol.

Antara Proses Adaptasi dan Ekspektasi Tinggi

Meski banyak pemain Indonesia bersinar di luar negeri, namun saat kembali ke Tanah Air tak sedikit dari mereka malah melempem dan gagal bersinar bahkan kalah saing dari pemain lokal yang tak pernah mentas di liga asing.

Beberapa contoh kasusnya adalah Yandi Sofyan dan Syamsir Alam, di mana dua pemain tersebut sempat mengenyam pendidikan di liga asing bahkan keduanya disebut wonderkid yang dapat membawa harum Garuda di masa depan.

Yandi Sofyan pernah memperkuat VS Vise di Belgia serta Brisbane Roar di Australia. Portofolio gemilang di usia muda tersebut menimbulkan harapan tinggi bagi pecinta sepak bola Indonesia kepada adik Zainal Arif ini.

Sayangnya, Yandi Sofyan gagal bersinar di sejumlah klub Indonesia. Meski pernah memperkuat Persib Bandung dan Bali United, namun ia lebih sering menghuni bangku cadangan lantaran kalah saing dengan nama-nama senior.

Sementara Syamsir Alam sempat melejit ketika ia berhasil mencetak gol ke gawang Hongkong di Kualifikasi Piala Asia U-19 pada 2009 lalu.

Setelah performa impresif itu, Syamsir sekolah ke beberapa klub luar negeri seperti Penarol (Uruguay), CS Vise (Belgia), hingga DC United (Amerika Serikat).

Karier pemuda asal Padang ini tak begitu cemerlang saat di luar negeri. Meski sempat mencuri perhatian saat tergabung dalam program pelatihan PSSI yakni SAD di Uruguay, namun setelah hengkang ke Eropa performanya mulai menurun.

Syamsir pun kembali ke Indonesia dan mencoba peruntungan dengan memperkuat beberapa klub lokal. Sayang ia masih belum bisa menunjukkan tajinya ketika bergabung dengan Sriwijaya FC.

Bahkan Syamsir Alam sempat banting setir menjadi pembawa acara traveling salah satu stasiun televisi swasta lantaran tak mendapat klub, hingga pada September 2019 lalu ia mendapat kesempatan berlatih bersama Borneo FC.

Banyaknya para pemain Indonesia yang melempem usai kembali ke Tanah Air, umumnya disebabkan oleh lifestyle yang kurang disiplin, hingga sulitnya beradaptasi dengan sepak bola Indonesia yang cukup ‘agresif’ dalam bermain.

Seperti yang diungkapkan Arthur Irawan. Pemain yang pernah memperkuat tiga klub Eropa yakni Espanyol B, Malaga B, dan Waasland-Beveren ini mengaku jika sulitnya adaptasi dengan iklim sepak bola Indonesia membuat kariernya tak berkembang di liga lokal.

“Main di Eropa sama di Indonesia sangat berbeda di sisi taktik, pola latihan, dan lifestyle. Kita yang main di luar untuk main di sini harus adaptasi lagi, sama aja kayak pemain yang pernah main di top level belum tentu sukses di Indonesia. Sepak bola permainan tim bukan individu,” ucapnya.

Arthur Irawan pun membandingkan kariernya dengan Joan Tomas, salah satu rekrutan anyar Persija Jakarta musim ini yang masih belum menunjukkan tajinya di Shopee Liga 1 2019.

“Itu dia, Joan Tomas itu bagus sekali sama Celta Vigo (tim Liga Spanyol), tapi ya mungkin ekspektasi fans Indonesia dan pelatih Indonesia beda dari fans dan pelatih luar negeri,” tambahnya.

Jika Arthur Irawan sebagai jebolan liga Eropa menganggap sulitnya adaptasi menjadi penyebab utama kariernya tak berkembang, maka pandangan lain disampaikan dua pengamat sepak bola Justinus Lhaksana dan Timo Scheunemann.

Menurut mereka, melempemnya performa pemain yang sempat tampil atau bermain di luar negeri saat kembali ke Indonesia lantaran pola hidup serta kedisiplinan masing-masing pemain.

Para pemain yang kembali ke Tanah Air usai menimba ilmu di luar negeri, harusnya punya tanggung jawab untuk menjaga pola makan serta waktu istirahatnya. Andai mengabaikan dan tidak disiplin akan hal tersebut maka latihan yang telah mereka jalani sebelumnya di luar negeri pun terbilang sia-sia.