Sosok Soeratin, Pendiri PSSI dan Penerapan Sumpah Pemuda di Sepak Bola Indonesia
Dalam perjalanannya, PSSI tetap melakukan perlawanan terhadap Hindia Belanda. Perlawanan yang dimaksud tidak secara fisik, tetapi penekanan mengenai ‘Sepak Bola Kebangsaan’ ke segala lapis masyarakat.
Sejak berdiri tahun 1930, PSSI sudah merencanakan untuk menggelar kompetisi untuk memupuk semangat kenegaraan pemuda dan sekaligus menyaingi kompetisi NIVB.
Terlebih, masyarakat keturunan Tionghoa juga telah membentuk perserikatan Hwa Nan Voetbal Bond (HNVB) bahkan turut menggulirkan kompetisi.
Maklum, klub yang ada di Hindia Belanda masih bersifat segregasi. Artinya, masing-masing kelompok ras memiliki klubnya sendiri-sendiri yang juga bertanding dengan sesama mereka.
Jadilah PSSI mendirikan kompetisi perserikatan pertama pada Mei 1931 di Solo. Pada awalnya direncanakan di Surabaya, namun dianggap terlalu jauh bagi peserta lainnya sehingga Solo dinilai paling strategis untuk menghemat biaya.
Kompetisi I PSSI yang diselenggarakan di alun-alun itu diikuti oleh 3 perserikatan, yakni PSIM Yogya, VVB Solo, dan VIJ Jakarta. Kompetisi ini dimenangkan oleh VIJ Jakarta (Persija Jakarta).
Timnas Indonesia Ikuti Piala Dunia 1938
Tidak hanya itu, Soeratin terus mengobarkan semangat perjuangan kepada anak-anak muda Indonesia lewat sepak bola. Salah satunya adalah dengan menargetkan partisipasi di Piala Dunia 1938 yang diselenggarakan di Prancis.
Keikut sertaan Indonesia di kompetisi sepak bola terakbar di dunia itu menuai kontroversi. Ya, tahun 1938, Indonesia masih merupakan negara yang dijajah Belanda, belum berdiri sendiri.
Pada akhirnya Indonesia tampil di Piala Dunia untuk pertama kalinya, tapi dengan nama Hindia Belanda setelah lolos lewat Kualifikasi Piala Dunia Zona Asia, bersama dengan Jepang.
Ternyata Indonesia ikut Piala Dunia 1938 harus melalui berbagai polemik. Salah satunya adalah Organisasi Sepak Bola Hindia-Belanda (NIVU) di Batavia berdebat hebat dengan PSSI tentang para pemain yang dikirimkan ke Prancis.
Sempat dibuat perjanjian pada Januari 1937, yaitu menggelar pertandingan antara tim bentukan NIVU menghadapi tim PSSI. Yang menang akan dikirimkan ke Prancis, tapi Belanda melanggar janji tersebut.
Meski begitu, FIFA sendiri mengakui Hindia Belanda yang mengikuti Piala Dunia 1938 itu dan akhir-akhir ini menyebutnya sebagai partisipasi dari Timnas Indonesia.
Sebuah catatan sejarah, bahwa kita pernah ikut kompetisi sepak bola paling akbar di muka bumi ini, meski tak memakai nama Timnas Indonesia.
Akhir Era Jabatan dan Warisan Soeratin
Tak lama setelah Piala Dunia 1938, tepatnya tahun 1940, jabatan Ketua Umum PSSI yang diemban oleh Soeratin diambil oleh Artono Martosoewignyo. Usai tak lagi jadi Ketua Umum PSSI, Soeratin masih aktif dalam perjuangan.
Bahkan dia aktif dalam Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang saat itu dianggap musuh oleh Belanda. Rumah Soeratin juga sempat diobrak-abrik oleh Tentara Belanda karena gaung perjuangan yang dikobarkan oleh Bapak Pendiri PSSI ini.
Di masa akhir hidupnya, Soeratin harus menjalani kesehariannya dalam kesulitan ekonomi. Hingga pada tanggal 1 Desember 1959, Soeratin meninggal saat usia 60 tahun.
Kini PSSI menjadi warisan Soeratin untuk sepak bola Indonesia, sebagai wadah persatuan para pemuda Indonesia. Warisan ini sudah seyogyanya kita, seluruh elemen sepak bola Indonesia menjaganya dengan baik.
Tidak hanya lewat PSSI, tapi juga menjaga nama besar sepak bola Indonesia lewat profesionalisme untuk seorang pemain dan sikap menghormati antar suporter klub.
Entah klub apa yang kalian dukung di Liga 1, Liga 2 atau Liga 3. Mulai dari Bobotoh, Jakmania, Aremania, Bonek, Slemania, Persipura Mania, atau apa pun sebutannya, kita semua satu. Persatuan Indonesia.
Demi sepak bola yang menyatukan Indonesia, seperti apa yang dicita-citakan Soeratin dalam penerapan Sumpah Pemuda hingga berdirinya PSSI.