In-depth

Mengenal Soeratin, Ketum Pertama PSSI dan Kisah Pilu di Akhir Hayat

Jumat, 1 November 2019 17:19 WIB
Penulis: Coro Mountana | Editor: Arum Kusuma Dewi
© Ilustrasi/INDOSPORT
Soeratin Sosrosoegondo adalah sosok yang sangat berjasa bagi sepak bola Indonesia karena sudah mendirikan PSSI. Copyright: © Ilustrasi/INDOSPORT
Soeratin Sosrosoegondo adalah sosok yang sangat berjasa bagi sepak bola Indonesia karena sudah mendirikan PSSI.

FOOTBALL265.COM – Soeratin Sosrosoegondo adalah sosok yang sangat berjasa bagi sepak bola Indonesia karena sudah mendirikan PSSI meskipun ia harus alami pilu di akhir hayatnya.

Dengan ditemani suara derap langkah kaki dari mata-mata polisi Belanda (PID) yang mencurigai ada sebuah gerakan politik di gedung batik pada 19 April 1930, sekumpulan pemuda di dalam bangunan itu tengah melakukan pertemuan penting. Rapat yang akan melahirkan PSSI.

Waktu berjalan cepat, PSSI pun telah berkembang hingga seperti sekarang di mana sebentar lagi akan dilakukan sebuah kongres untuk memilih ketua umumnya untuk periode 2019-2023.

Namun sebelum kita mengetahui siapa ketum PSSI yang baru nantinya, ada baiknya untuk mengenal lebih dekat dengan Soeratin Sosrosoegondo, ketum pertama PSSI yang ternyata mengalami pilu di akhir hayatnya.

Padahal Soeratin adalah teladan bagi siapapun ketum PSSI karena ia memimpin dengan penuh cinta, pengorbanan, dan dedikasi tinggi.

Mengenal Soeratin Sosrosoegondo

Mengutip dari buku berjudul Soeratin Sosrosoegondo: Menentang Penjajahan Belanda dengan Sepak Bola Kebangsaan karya Eddi Elison, Soeratin lahir di Yogyakarta pada 17 September 1898. Pada tahun 1920, Soeratin melanjutkan pendidikannya di Sekolah Teknik Tinggi di Hecklenburg, Hamburg, Jerman.

Selama di Hamburg hingga 1927, Soeratin belajar banyak bagaimana Jerman yang sempat dikucilkan hingga tak boleh mengikuti Olimpiade 1924, bangkit melawan itu semua. Jerman bangkit dengan berprestasi di Olimpiade 1928 terutama di cabang sepak bola.

Seketika dunia menjadi terkejut dan tak pernah lagi mengucilkan Jerman. Saat itu juga Soeratin jadi teringat dengan bangsanya sendiri yaitu Indonesia yang sedang dikucilkan akibat dijajah Belanda. Seusai studinya dan setelah mendapat gelar insinyur, Soeratin pun memilih pulang ke Indonesia.

Bekerja di sebuah perusahaan Belanda sebagai seorang insinyur tak menyurutkan semangat Soeratin untuk turut membangun sebuah badan sepak bola di Indonesia. Dengan mengumpulkan sejumlah pemuda, akhirnya Soeratin pun berhasil mendirikan PSSI pada 19 April 1930.

Namun setelah didirikan pun, cobaan dan rintangan banyak menghampiri Soeratin dalam mengembangkan PSSI sebagai sebuah gerakan untuk mempersatukan bangsa Indonesia melalui sepak bola. Sempat dianggap remeh NIVB (asosiasi sepak bola bentukan Belanda), Soeratin tak menyerah. 

Tapi dengan semangat, cinta dan penuh pengorbanan, Soeratin tidak patah arang dan terus memompa semangat PSSI agar tidak kalah dengan NIVB. Salah satu bentuk pengorbanan terbesar Soeratin untuk PSSI adalah ketika ia meninggalkan pekerjaannya di perusahaan Belanda itu.

“Beliau meninggalkan pekerjaannya karena dipaksa memilih antara pekerjaan, yang gajinya disamakan dengan gaji pegawai Belanda setingkat dengan beliau (sangat besar saat itu) atau kegiatan sepak bola,” cerita Wuly Sukartono Santoso, cucu Soeratin kepada INDOSPORT

Kerja keras Soeratin pun membuahkan hasil ketika NIVB merasa dirinya mulai kalah pamor dengan PSSI. Hingga akhirnya NIVB menawarkan kerja sama untuk membentuk Timnas yang kuat untuk ajang Piala Dunia 1938.

Namun sayang di tengah jalan, Soeratin dan PSSI dikhianati oleh Belanda yang merasa tim bentukan NIVB jauh lebih lemah dari pada milik Indonesia. Hal itu tergambar jelas ketika Indonesia kedatangan tim kuat dari China bernama Nan Hua yang diperkuat legendanya, Lee Wai Tong.

Timnas Indonesia bentukan PSSI saat itu secara mengejutkan mampu menahan imbang Nan Hua (2-2) yang sebelumnya membantai klub dari NIVB dengan skor 4-0. Takut dengan timnas bentukan PSSI, NIVB melanggar kerja samanya dan mengirimkan timnya sendiri di Piala Dunia 1938.

Selepas itu, pergolakan terjadi Indonesia ketika Jepang menyerbu dan gantian dengan Belanda hendak menjajah. Secara tidak langsung, PSSI pun untuk sementara vakum karena tengah berada di bawah naungan Jepang. 

Meski demikian, Soeratin ternyata tetap membela Indonesia tapi dengan ikut mengangkat senjata membela NKRI. Dengan masuk ke bagian TKR (cikal bakal TNI), Soeratin yang saat itu berpangkat letnan kolonel memimpin pabrik mesiu, senjata, dan dinamit.

Pilu di Akhir Hayat

Setelah Indonesia merdeka dan tidak lagi memimpin PSSI, Soeratin diketahui tinggal di sebuah paviliun dengan ukuran hanya 4 x 6 meter saja di Bandung. Soeratin hanya tinggal bersama istri tercintanya tapi dengan kondisi dirinya yang sakit-sakitan.

Karena penyakit yang dideritanya di masa tua dan sudah menahun, Soeratin pun pensiun sepenuhnya dari dunia sepak bola ataupun militer dengan pangkat letnan kolonelnya.

Sangat pilu rasanya melihat bagaimana seorang Soeratin yang berjasa mendirikan PSSI dan ikut membela kemerdekaan Indonesia, justru harus terbaring lemas dengan penyakitnya di masa tua.

Bahkan hingga ajal menjemputnya pada 1 Desember 1959, Soeratin hidup dalam kemiskinan dengan tidak mampu membeli obat untuk menyembuhkan penyakitnya.

Memang Soeratin telah meninggal bahkan dengan dibungkus kisah pilu, tapi maha karyanya masih bisa kita nikmati hingga saat ini yaitu PSSI. 

Rasanya akan sangat kurang ajar bila nantinya ketum PSSI yang terpilih justru tidak mampu memajukan sepak bola Indonesia karena itu sama saja dengan melecehkan perjuangan Soeratin yang mati-matian memupuk dan membangunnya dengan penuh cinta serta pengorbanan.