FOOTBALL265.COM - Sebenarnya Liga Indonesia memiliki klub-klub raksasa yang bisa dibilang legendaris dan kini hanya tinggal nama saja dalam sejarah sepak bola Tanah Air.
Beberapa di antaranya bahkan ada yang harus rela menanggalkan namanya lantaran diakuisisi oleh pihak lain dan berganti untuk tetap eksis di sepak bola Indonesia.
Kita sebut saja Pelita Jaya yang pada tahun 2012 diakusisi oleh Bandung Raya, dan melebur menjadi Pelita Bandung Raya yang sempat mengikuti Indonesia Super League.
Ada juga Gelora Dewata, yang menjadi Deltras Sidoarjo saat pemilik klub HM Mislan menjual klub kepada Pemkab Sidoarjo di tahun 2003 silam.
Kita juga bisa memasukkan nama Putra Samarinda FC, klub yang cukup dikenal dan sudah tampil di kasta tertinggi Liga Indonesia sejak peleburan Perserikatan dan Galatama, yakni musim 1994/95 silam.
Kini Putra Samarinda FC berubah nama menjadi Bali United dan baru saja menyabet gelar juara Liga 1 2019 lalu. Namun nama yang dikenal tentu saja Bali United dan sebenarnya itu sangat disayangkan.
Sementara klub-klub raksasa Liga Indonesia yang tak diakuisisi pihak lain atau bertahan semampunya, tenggelam oleh zaman begitu saja. Seperti sederet klub yang sudah INDOSPORT rangkum untuk kalian, simak selengkapnya.
Niac Mitra
Meski sudah tenggelam dan tak terdengar lagi, nama Niac Mitra cukup membekas di sejarah sepak bola Indonesia. Mereka merupakan salah satu klub yang mengawali Galatama pada tahun 1979/1980 silam.
Niac bahkan pernah merengkuh tiga gelar juara Galatama di musim 1981/82, 1982/83 dan terakhir 1986/87. Niac Mitra benar-benar digdaya pada periode tersebut, bahkan Arsenal saja dibuat tersungkur dengan skor 0-2 di laga persahabatan di Surabaya.
Namun semua berubah saat PSSI hendak meleburkan dua divisi yang membuat Niac memilih untuk membubarkan diri. Pemilik klub tidak setuju dengan peleburan dua divisi menjadi satu.
Niac Mitra yang memilih bubar pun diketahui berubah nama menjadi Mitra Surabaya yang didalangi oleh Dahlan Iskan. Mitra Surabaya mulai berlaga di tahun 1993 tapi kemudian harus terdegradasi ke Divisi I Liga Indonesia di tahun 1999 silam.
Saat terdegradasi Mitra Surabaya dibeli oleh pemilik Barito Putera dari Banjarmasin, H. Sulaiman HB dan pindah ke ibu kota Kalimantan Tengah, Palangkaraya. Sejak itu Mitra Surabaya berganti nama menjadi Mitra Kalteng Putra (MKP).
Tapi MKP malah makin terpuruk dengan terlempar ke Divisi II Liga Indonesia di tahun 2001 dan mengalami kesulitan finansial. MKP pun dibeli oleh Kabupaten Kutai Kartanegara dan berubah nama menjadi Mitra Kukar di tahun 2003 dan bertahan hingga sekarang. Nama Niac Mitra benar-benar tinggal sejarah saja.
Warna Agung
Warna Agung tentu tidak asing di telinga para pecinta sepak bola Indonesia era 1970-an. Bahkan klub yang didirikan oleh Pengusaha kondang, Benny Mulyono di tahun 1971, berhasil menjadi jawara pertama Galatama musim 1979/1980.
Warna Agung makin disegani oleh klub-klub Indonesia saat itu dengan munculnya para pemain bintang Timnas Indonesia. Sebut saja Rully Nere, ROnny Pattinasarany hingga Widodo Cahyono Putro.
Mereka juga dikenal punya kekuatan finansial dengan menunjuk deretan pelatih lokal berkelas seperti Endang Witarsa dan Harry Tjong. Sayang, Warna Agung harus pamit dari dunia Kulit Bundar Tanah Air usai mengalami konflik internal pada tahun 1995.
Ya, terjadi masalah di internal klub Warna Agung, diduga Endang Witarsa menolak suap yang memang ramai terjadi di Galatama saat itu. Pelatih yang akrab disapa Sang Dokter itu pun memilih undur diri.
Pengunduran diri Endang Witarsa menjadi awal mula keterpurukan Warna Agung. Sempat mengikuti Ligina (peleburan Galatama dan Perserikatan) musim perdana, Warna Agung lenyap begitu saja dan kini tinggal nama.
Arseto Solo
Arseto Solo bisa dibilang merupakan klub kebanggaan kota Solo, Jawa Tengah pada era sepak bola Indonesia tahun 1990-an. Berawal dari tahun 1978, Arseto pertama kali didirikan oleh salah satu putra Soeharto, Sigid Harjoyudanto. Awalnya, klub ini mewakili Jakarta di berbagai kompetisi kala itu.
Namun, sejak tahun 1983, Arseto pun akhirnya 'dipindahkan' ke Solo, Jawa Tengah, seiring dengan peresmian Hari Olahraga Nasional di Stadion Sriwedari, Solo, pada 9 September oleh Soeharto.
Bisa dikatakan, puncak dari kejayaan klub berjuluk The Cannon ini pada tahun 1992, ketika Arseto berhasil menjuarai kompetisi Galatama, serta berhasil melaju ke putaran ketujuh Liga Champions Asia satu tahun berselang.
Selain dikenal akan prestasinya, Arseto juga dikenal sebagai salah satu klub pengorbit pemain-pemain bintang. Sebut saja, Ricky Yacobi, Eduard Tjong, Rochy Putiray, Nova Arianto hingga Miro Baldo Bento pernah berseragam Arseto.
Sayang, perjalanan Arseto di kancah sepak bola Tanah Air harus berakhir seiring turunnya Soeharto dari kursi nomor satu di Indonesia tahun 1998.
Ya, Soeharto dan Arseto bak simbiosis mutualisme dalam sepak bola. Keduanya saling membutuhkan, dan juga saling melengkapi. Arseto bisa dibilang sebagai kekuatan keluarga Cendana di dunia olahraga.
Krama Yudha Tiga Berlian
Dua musim beruntun Galatama, tepatnya di tahun 1985 hingga 1987, bisa dilihat sedigdaya apa Krama Yudha Tiga Berlian. Klub yang awalnya berdomisili di Palembang ini dibentuk oleh tokoh sepak bola dan juga pengusaha, Sjarnoebi Said.
KTB memang dikenal sangat kuat di era kejayaannya, bahkan striker legendaris Timnas Indonesia, Bambang Nurdiansyah pernah membela dan mengantarkan klub ini menjadi juara pada musim 1985.
Sayang, lagi-lagi masalah finansial menjadi sandungan KTB untuk tetap eksis. Sempat menunggak gaji para pemain namun mampu melunasinya, KTB memilih bubar saat paruh kedua Galatama musim 1991/1992.
Sempat mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional seperti ajang Asian Club Championship di Arab Saudi dan menyabet tempat ketiga terbaik, KTB kini hanya tinggal nama dalam sejarah sepak bola Indonesia.