In-depth

Lembar yang Hilang: Jimmy Suparno dan Kisah Cinta Semusim di Persipura

Sabtu, 6 Juni 2020 17:23 WIB
Penulis: Sudjarwo | Editor: Ivan Reinhard Manurung
 Copyright:

FOOTBALL265.COM - Kompetisi Liga Indonesia musim 2002/2003 menjadi pintu gerbang era baru perjalanan klub Persipura Jayapura. Di musim itu, Persipura mulai membuka keran pemain asing dan pemain asal luar Papua, salah satunya, Jimmy Suparno.

Dahulu, klub sepak bola berjuluk Mutiara Hitam itu lebih mempercayakan talenta-talenta asli asal Tanah Papua yang dicomot dari Diklat / PPLP. Namun seiring waktu berjalan, tradisi itu sedikit berubah.

Kedatangan pelatih keturunan Belanda, Ruddy Wiliam Keltjes di periode keduanya, sedikit mengubah wajah Persipura dengan mendatangkan dua pemain asing asal Kamerun, Ebanda Timothy dan Bako Sadissou.

Tak hanya itu, di musim 2002/2003, Keltjes juga membawa serta talenta muda berusia 18 tahun produk Diklat Salatiga, Jawa Tengah, Jimmy Suparno.

"Saya lulus dari Diklat Salatiga, ada kejuaraan antar PPLP seluruh Indonesia ketika itu, dan kebetulan coach Ruddy Keltjes nonton dan melihat saya bermain."

"Saya langsung ditawarin ikut dia bergabung ke Persipura Jayapura," kata Jimmy Suparno kepada awak redaksi berita olahraga INDOSPORT, Jumat (5/6/20).

Terlepas dari sosok kiper Helconi Hermain sebagai pemain pertama dari luar Papua yang membela Persipura, Jimmy juga merupakan pesepakbola Jawa pertama yang berseragam merah hitam di era kompetisi sepak bola profesional Indonesia.

Entah pernah menuai pro kontra atau tidak, toh, perekrutan Jimmy Suparno ke Persipura ketika itu menjadi hal yang tabu, mengingat Tanah Papua sendiri masih melahirkan talenta-talenta berkualitas. Apalagi, Jimmy didatangkan tanpa memiliki pengalaman di kompetisi Liga Indonesia.

Ruddy Keltjes nampaknya sudah belajar banyak dari pengalamannya di periode pertamanya (1999/2000). Ia membutuhkan gelandang serba bisa yang punya tenaga lebih untuk menopang lini serang Persipura, sesuai dengan skema yang ia inginkan.

Dan Jimmy Suparno membuktikan bahwa Keltjes tak salah pilih. Penampilan Jimmy cukup memikat publik Mandala, meskipun Persipura hanya bisa finis di peringkat ke-5 kala itu.

Jadi Idola

Pemain kelahiran Cilacap 20 Februari 1984 ini awalnya ragu terbang ke Jayapura untuk memperkuat Persipura. Namun, demi mengembangkan kemampuan mengolah si kulit bundar, Jimmy tak berpikir panjang untuk menerima tawaran Ruddy Keltjes.

Di usia yang masih terbilang cukup muda, Jimmy langsung berdiri sejajar dengan pemain-pemain kawakan seperti Chris Leo Yarangga, Ronny Wabia dan Eduard Ivakdalam di skuat Persipura. Jimmy mengenakan kostum bernomor punggung 19 ketika itu.

"Waktu pertama datang ke Jayapura saya memang sempat kaget karena letak Papua yang sangat jauh dan perbandingan waktu yang berbeda dengan di Jawa," tuturnya.

Di awal kariernya bersama Persipura, permainan Jimmy belum begitu menonjol. Dia baru mencetak gol pertamanya di pekan ke-7 saat menghadapi PSIS Semarang.

Berkat dukungan seniornya di Persipura dan kepercayaan yang tinggi dari sang pelatih, Jimmy bisa meningkatkan grafik permainannya di tiap pekan.

"Awalnya saya main hanya 30 menit sebelum akhir pertandingan, terus 45 akhir pertandingan saya trus menunjukkan grafik permainan yang bagus dan sering cetak gol penentu kemenangan Persipura," kenangnya.

Di pertengahan musim, performa Jimmy terus meningkat dan kian membuktikan ketajamannya. Tepatnya, di pekan ke-16, 29 Maret 2003, Jimmy menyihir Stadion Mandala dengan hattrick-nya ke gawang PSS Sleman. Persipura menang 4-1 ketika itu. Dari situlah, sosok Jimmy semakin menjadi idola bagi publik Jayapura dan pecinta Persipura.

"Lambat laun, senior-senior di Persipura menerima saya dengan baik. Saya bisa beradaptasi dengan baik di sana, dan saya dicintai oleh masyarakat Papua, itu yg membuat saya lebih kerasan lagi. Ibaratnya, di sana seperti rumah kedua saya," katanya.

Sebagai seorang pemain yang bukan berposisi sebagai striker murni, performa Jimmy di Persipura cukup moncer. Dia berhasil menggelontorkan 12 gol selama memperkuat tim Mutiara Hitam.

"Walaupun hanya semusim tapi pengalaman itu sangat berkesan sekali. Apalagi, Pak Walikota dulu, MR Kambu dia menganggap saya seperti anak sendiri. Dan sampai sekarang pun rasa cinta terhadap Tanah Papua tidak bisa hilang di hati saya," ungkap Jimmy.

1