FOOTBALL265.COM – Kritikan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) soal penyelenggaraan Piala Menpora, rasanya terasa bagaikan sepak bola Indonesia diminta jalan poco-poco.
Setahun sudah virus corona atau covid-19 berada dan menemani kita di Indonesia. Fakta tersebut mengacu pada pasien virus corona pertama di Indonesia yang memang baru terdeteksi pada 2 Maret 2020.
Liga 1, sebagai ajang sepak bola paling bergengsi di Indonesia, tak luput kena imbas dari betapa jahatnya virus corona. Baru saja memainkan 3 pekan awal Liga 1, kompetisi tertinggi di Indonesia pun dipaksa berhenti akibat serangan virus corona pada pertengahan Maret tahun lalu.
Para pemain, pelatih hingga ofisial klub yang sedianya memang hanya menggantungkan nasib pada sepak bola, jadi kehilangan mata pencaharian. Namun, harapan pun muncul ketika sepak bola akhirnya diizinkan bisa dimainkan kembali dengan label Piala Menpora.
Para pemain, pelatih, manajemen hingga suporter pun menyambutnya dengan gegap gempita, karena sepak bola Indonesia coba dibangkitkan lagi dari kubur. Namun, dengan cepat, rencana penyelenggaraan Piala Menpora pun diprotes oleh IDI.
“Pemerintah membuat program Pembatasan Sosial Berskala Nesar (PSBB), PPKM, PPKM mikro yang tujuannya mencegah kerumunan. Kemudian kalau sekarang akan menyelenggarakan turnamen ini bagaimana? Itu namanya impelementasinya tidak sesuai dengan tujuan kebijakan,” ujar Ketua Satgas Covid-19 IDI, Zubairi Djoerban beberapa waktu lalu.
“Jadi, jangan membuat kerumunan, kami tidak setuju (penyelenggaraan Piala Menpora 2021). Apa tidak sebaiknya Indonesia juga menunggu positivity rate dibawah 10 persen dulu?”
Jika mengacu pada data dari Kementerian Kesehatan, positivity rate covid-19 harian pada Minggu (28/02) mencapai 26,2 persen, sangat jauh dari 10 persen. Secara tidak langsung, sepak bola Indonesia yang tadinya mau maju selangkah, seperti dipaksa mundur lagi oleh IDI.
Gerakan maju selangkah lalu mundur lagi selangkah (alias jalan di tempat), sangat identik dengan tarian poco-poco. Apakah sepak bola Indonesia diminta untuk jalan poco-poco lagi alias jalan di tempat? Adakah win-win solution-nya agar semua pihak terakomodir?