Brendan Rodgers dan Resepnya Mempermalukan Chelsea di Final Piala FA
Sejak menukangi Leicester City menggantikan Claude Puel, Brendan Rodgers mampu mengubah gaya permainan The Foxes dari yang sebelumnya bertahan dan mengandalkan Counter Attack, menjadi tim yang seimbang dalam fase bertahan dan menyerang.
Gaya permainan tersebut tergambar jelas saat Leicester membungkam Chelsea di final Piala FA 2020/21. Selain dari gaya permainan, juga ada beberapa faktor yang membuat Brendan Rodgers mampu mengalahkan taktik Thomas Tuchel.
1. Sistem Pressing di Lini Tengah
Brendan Rodgers paham betul bahwa Chelsea dan Tuchel memainkan skema High Pressing untuk menekan lawan-lawannya. Ia pun tak ingin kalah dan memberi Pressing yang cukup tinggi, yakni di area tengah lapangan.
Chelsea selalu mengandalkan Jorginho untuk mendristibusikan bola. Peran vital tersebut pun dipahami betul oleh Rodgers yang kemudian menerapkan sistem Pressing di area bintang The Blues tersebut.
Untuk menekan area tengah The Blues, Rodgers memainkan tiga gelandang dalam formasi 3-4-1-2 pada sosok Ayoze Perez, Youri Tielemans, dan Wilfried Ndidi.
Ketiga pemain ini dipasang untuk menguasai lini tengah dan bertugas menekan lini tengah Chelsea yang digalang N’Golo Kante dan Jorginho.
Dengan baik, ketiganya mampu memutus alur distribusi bola dengan mempersempit ruang serta aliran bola.
Apiknya sistem Rodgers ini telah ia terapkan sejak mengambil alih Leicester. Dikutip dari FBRef, The Foxes tergolong aktif menekan area tengah dengan total 1978 Pressing.
Taktik ini terbukti jitu dan membuat Ball Progression Chelsea terhambat. Terlebih, The Blues kehilangan sosok sentral seperti Mateo Kovacic.
2. Formasi yang Fleksibel
Brendan Rodgers terbilang adaptif terhadap situasi. Saat bek tengahnya, Jonny Evans, cedera, Rodgers tak panik dan memasukkan Marc Albrighton yang notabene gelandang.
Dari formasi 3-4-1-2, Rodgers lantas mengubah formasi menjadi 4-1-4-1 untuk memaksimalkan potensi pemainnya di posisi yang ada.
Hebatnya, perubahan formasi tak mengubah taktik Rodgers sendiri dan malah membuat lini tengah Leicester yang terbiasa menekan sejak menit awal kian solid dibanding formasi 3-4-1-2.
Hasilnya terlihat dalam gol Tielemans di mana Pressing di area tengah dalam formasi 4-1-4-1 mampu dimaksimalkan setelah Ayoze Perez memblok distribusi bola sehingga berhasil direbut dan berbuah gol.
Tentu untuk mengubah formasi tanpa merusak taktik yang ada butuh pengalaman dari seorang pelatih. Rodgers membuktikannya dengan baik.
Perubahan formasi ini sendiri bukanlah barang baru bagi Rodgers yang memang terkenal adaptif dengan lawan-lawannya.
Termasuk laga melawan Chelsea, Rodgers memang memiliki banyak formasi untuk Leicester. Ada 4 formasi yang kerap ia mainkan yakni 3-4-2-1, 4-2-3-1, 5-4-1, dan 4-1-4-1.
Dengan kejeniusannya mengotak-atik formasi tersebut, ia mampu mengeksplorasi timnya lebih jauh sehingga membuat Leicester kini mampu merusak hegemoni The Big Six Liga Inggris di kancah domestik.