Cerita Kapten Timnas Afghanistan, Terusir dari Negeri Perang Hingga Merantau ke Malang
Masa kecil Faysal Shayesteh mungkin tak senyaman bocah-bocah lain di sejumlah negara. Faysal kecil harus melalui terjalnya hidup di bawah bayang-bayang senjata pemusnah massal, sampai hantaman peluru dari serangan udara militer di Afghanistan.
Lahir di Kabul, Afghanistan dan harus menghadapi situasi perang berkepanjangan di masa kecil, memang bukan keinginan Faysal. Ia harus tunduk pada takdir, bahwa ia dan keluarganya tinggal di wilayah konflik besar dan hidup di bawah ancaman kematian.
Faysal kecil bahkan harus mengesampingkan dulu mimpinya untuk bermain sepakbola. Tanah di kota kelahirannya sudah tak aman digunakan untuk berlari mengejar bola, karena di sana dipenuhi peluru dan sewaktu-waktu serangan militer bisa saja datang menyerang.
Namun, harapan Faysal tak pernah putus di tengah jalan. Pria kelahiran 21 Juni 1991 ini terus memupuk angan-angannya untuk tetap bermain sepakbola. Pun meski harus terusir lebih dulu dari kampung halamannya, dan merantau jauh ke negara lain.
INDOSPORT akan mengulas cerita perjuangan Faysal Shayesteh yang harus melalui jalan terjal, hidup di wilayah perang, untuk bisa bermain sepakbola. Hingga akhirnya kini merajut mimpi bersama Arema FC.
1. Hidup dan Terusir dari Negara Perang
Faysal Shayesteh masih balita ketika ayahnya, yang merupakan seorang dokter dan memiliki usaha praktek di Kabul, hijrah ke Belanda menyusul situasi konflik di Afghanistan. Meski berat meninggalkan kampung halaman, Faysal nyatanya tetap mencintai sepakbola sejak kecil.
“Saya tahu betapa pentingnya olahraga untuk orang-orang kami di Afghanistan. Olahraga menyatukan seluruh bangsa. Sebagai pesepakbola, tidak ada yang membuat saya puas selain meraih kemenangan untuk membuat orang lain bahagia,” kata Faysal Shayesteh kepada The Hindu.
Faysal dan kakaknya, Qays Shayesteh menjadi pemain sepakbola profesional dan keduanya sama-sama memperkuat Timnas Afghanistan.
“Ayah kami adalah penggemar sepakbola berat. Ada banyak anak-anak bermain sepakbola di tempat di mana kita tinggal di Belanda,” sambung Faysal.
“Ayah saya tidak ingin kembali ke tanah airnya karena ada hal-hal tertentu yang membuatnya tidak senang dengan situasi yang terjadi di sana,” bebernya terkait situasi perang di Afghanistan.
Faysal benar-benar tak bisa menikmati masa kecilnya bermain sepakbola di lapangan di tanah kelahirannya. Perang di Afghanistan nyaris memberangus mimpinya untuk menjadi pesepakbola profesional.
“Rasanya sakit sekali ketika saya mendengar tentang ledakan bom dan pembunuhan di Afghanistan. Saya ingin perdamaian untuk kembali ke tanah air saya,” kata Faysal Shayesteh seperti diberitakan The Hindu.
Meninggalkan Afghanistan, Faysal akhirnya mau tak mau menjadi bagian dari Timnas Belanda U-15 dan U-17, sebelum akhirnya ia terpilih bergabung bersama Timnas Senior Afghanistan oleh pelatih Jerman, Erich Rutemoller.
Faysal baru menjalani debutnya bersama Timnas Afghanistan pada 2014 melawan Kyrgyzstan di bawah asuhan Mohammad Yousef Kargar. Sayangnya, Faysal sama sekali belum pernah melakoni pertandingan bersama negaranya di Afghanistan dan ia bersama Timnasnya harus rela terusir dari negaranya.
“Kami memainkan laga kandang kami di Iran karena situasi perang. Saya belum pernah bermain di Afghanistan,” jelas Faysal.
“Tentu saja saya akan senang jika bisa bermain di negara saya, tetapi situasi sama sekali tak mendukung saat ini. Untuk menjalani turnamen, kami pun harus berlatih di Qatar,” tandasnya.
Kondisi pahit Faysal di Afghanistan kurang lebih pernah dialami Murtaza, seorang bocah yang memakai jersey kantong plastik dengan bertuliskan nama Lionel Messi dan nomor 10 di punggungnya. Murtaza ternyata mengidolai Messi dan merupakan anak yang hidup di tanah perang, Afghanistan.
Menurut laporan Mirror, Selasa (02/02/16), Murtaza adalah seorang bocah berusia 5 tahun yang tinggal di Jaghori, sebelah barat daya kota Kabul. Dia diketahui sebagai bocah korban perang di Afghanistan.
“Saya mencintai sepakbola Messi dan saya akan bertemu dengannya suatu hari nanti. Saya ingin menjadi seperti dia,” kata Murtaza kepada Al Jazeera.
Namun, Murtaza akhirnya bisa bertemu langsung dengan Messi saat Barcelona menjalani laga persahabatan melawan Al Ahli, di Stadion Thani bin Jassim, Al Rayyan, Qatar, pada Selasa (13/12/16) lalu.
Kisah Faysal dan Murtaza di atas hanya ingin menggambarkan betapa kerasnya kehidupan di Afghanistan. Faysal dan Murtaza mungkin hanya sebagian kecil dari semangat putra asli Afghanistan yang berjuang keras demi meneruskan mimpi bermain sepakbola.
2. Bangga Sebagai Kapten Timnas Afghanistan
Meski harus terusir dari negaranya karena kondisi perang, Faysal tetap bisa merajut mimpinya untuk menjadi pesepakbola profesional. Bahkan, Faysal mendapatkan kehormatan untuk mengemban ban kapten Timnas Afghanistan.
Rasa senang dan bangga pun tak bisa disembunyikan pemain kelahiran 21 Juni 1991 tersebut. Faysal akhirnya bisa memimpin Timnas Afghanistan di kancah internasional meski kondisi internal negaranya tengah luluh lantak.
“Bagi saya, ini adalah kehormatan besar untuk memimpin negeri ini. Saya bangga dengan negara saya. Saya lahir di Kabul dan saya berbicara dengan Bahasa Afghani. Tak masalah kemana Anda pergi dan di mana Anda tinggal, di dalam hati Anda, Anda berasal dari Afghanistan,” kata Faysal dengan haru.
Faysal mengakui bahwa olahraga kriket memang lebih populer di negaranya. Bahkan, menurutnya, kriket di Afghanistan lebih terorganisir ketimbang dunia si kulit bundar. Namun, pemerintah negaranya diakui tengah berjuang untuk sepakbola.
“Federasi sepakbola kita mencoba yang terbaik untuk membuat sepakbola menjadi populer. Ada banyak bakat di Afghanistan. Namun, pemain di negeri kami lebih banyak tak aktif dalam waktu yang lebih lama dan hal itu tak baik bagi perkembangan sepakbola,” kata Faysal.
3. Faysal Shayesteh dan Mimpi Baru Bersama Arema FC
Merantau jauh ke negeri orang di Indonesia, Faysal mencoba peruntungannya bersama Arema FC dengan menjalani trial di bawah asuhan Aji Santoso, jelang kompetisi resmi musim 2017.
Jumat (06/01/17) kemarin, Faysal Shayesteh bahkan langsung mengikuti sesi latihan bersama para pemain Arema FC di bawah asuhan Aji Santoso. Tak tampak raut wajah kelelahan dari pemain berusia 25 tahun itu meski ia baru saja menempuh perjalanan jauh dari Afghanistan.
Faysal sendiri baru tiba di Malang pada Kamis (05/01/17) malam, dan hanya memiliki waktu istirahat yang sangat singkat sebelum akhirnya menjalani trial bersama Arema FC.
Kapten Timnas Afghanistan yang sebelumnya berseragam Pahang di Liga Super Malaysia itu, bahkan terlihat tak canggung dan ia merasa senang berada di skuat Tim Singo Edan, meski baru pertama kali menginjakkan kaki di Malang.
“Saya senang berada di sini dan mulai beradaptasi dengan semua sesuatu yang baru,” kata Faysal kepada awak media usai latihan tim.
Pemilik 25 caps bersama Timnas Afghanistan itu sendiri rela menjalani trial karena tak lepas dari keinginannya sendiri yang memang ingin bergabung bersama Arema. Meski baru akan mencicipi atmosfer sepakbola di Indonesia, ia mengaku tak banyak perbedaan antara sepakbola di Tanah Air dengan Malaysia.
“Saya kira di sini (Indonesia) tidak beda jauh dengan Malaysia. Suporter fanatik dan saya tahu Arema adalah runner-up di kompetisi yang lal. Saya senang, suporter di sini sangat fanatik. Salam Satu Jiwa,” terang Faysal.
Kini, Faysal bakal memulai kariernya bersama Arema FC di Indonesia. Faysal tetap mencintai sepakbola dan akan terus memimpin negaranya sebagai kapten tim di kancah internasional dan mengobati luka masyarakat Afghanistan yang terluka karena perang.
Sebagai informasi, sepanjang kariernya di sepakbola profesional, Faysal sudah bermain di berbagai klub dan kompetisi. Memulai bermain sepakbola di usia muda bersama Twente pada 2009-2010, Faysal muda kemudian hijrah ke SC Heerenveen pada 2010-2012.
Lalu, Faysal bermain di tim senior Etar Veliko Tarnovo yang berlaga di Bulgarian A Professional Football Group pada 2012-2013. Di daratan Bulgaria, Faysal mencatatkan total 10 penampilan dan mencetak 1 gol.
Pemain berusia 25 tahun itu kemudian hijrah ke Thai League 2 dan bermain bersama Songkhla United pada 2014-2016. Ia cukup produktif bersama Songkhla dengan mencetak 17 gol dari 23 penampilan.
Usai membela Songkhla, Faysal melanjutkan kariernya bersama Pahang di Liga Super Malaysia. Faysal hanya bermain dalam 7 laga di Negeri Jiran, sebelum akhirnya trial bersama Arema FC jelang musim 2017.