x

Petualangan Lutz Pfannenstiel, 'Orang Gila' yang Bermain di Enam Benua

Senin, 9 Januari 2017 13:54 WIB
Editor: Gregah Nurikhsani Estuning

Berambut panjang, tubuh tinggi besar dan kekar, membuat Lutz Pfannenstiel lebih layak bertarung di arena panggung hiburan, seperti WWE, atau sekalian menantang Conor McGregor di ring UFC. Namun sepakbola menjadi jalan hidupnya, dia adalah kiper asal Jerman yang pernah berkarier di enam benua.


Perawakannya lebih mirip bintang film atau pegulat, tapi Pfannenstiel adalah kiper profesional.

Jika fakta tersebut tidak cukup untuk membuat pembaca INDOPSORT geleng-geleng kepala, mari simak pengalaman gilanya selama masih aktif bermain sepakbola. Mulai dari lari tanpa busana, mencuri penguin, hingga lembabnya suasana penjara pernah ia alami.

Awalnya, kariernya di dunia si kulit bundar normal-normal saja. Pfannenstiel bahkan sempat dianggap sebagai kiper bertalenta dan memiliki potensi besar, dan memang, ia pernah tergabung bersama Tim Nasional Jerman U17.

Lutz Pfannenstiel mengaku pernah berkesempatan untuk bersaing dengan pahlawan, legenda, dan idolanya di Bayern Munchen, Oliver Kahn. Tapi entah karena kelewat sombong atau justru jiper, ia enggan bermain bagi The Bavarian. Belakangan diketahui karena dirinya takut hanya akan menjadi penghangat bangku cadangan.


Profesi: Penjaga gawang. Hobi: Jalan-jalan.

Sekitar tahun 1993, sang agen menawarinya bermain bagi Penang FA. Iming-iming sorakan 50 ribu suporter di tiap laga mungkin menjadi penyebab dirinya lebih memilih hijrah ke Asia ketimbang berada di Eropa.

Menariknya, Malaysia adalah negara pertama yang diinjak Pfannenstiel di luar Eropa. Ia resmi hijrah ke Penang FA dari FC Bad Kotzting.

Kepada majalah semi-dewasa, ZOO TODAY ia menceritakan kegilaan yang pernah ia jalani selama kariernya di dunia sepakbola.


1. Berlari telanjang bulat usai pulang latihan

Lutz Pfannenstiel berlari tanpa busana karena pakaiannya dilucuti oleh perampok.

Kariernya di Malaysia tidak selama yang ia harapkan. Entah karena bosan atau tidak menemukan tantangan, ia kemudian terbang menuju Inggris dan bergabung dengan klub kecil, Wimbledon -- keputusan yang bakal disesalinya seumur hidup.

Ia menceritakan bahwa pernah suatu ketika Wimbledon menjalani sesi latihan lari di sekitar area taman dekat Roehampton, dan selepas latihan, sekelempok orang mendekati Pfannestiel dan melucuti pakaiannya. Alhasil ia harus pulang ke kediamannya dengan telanjang bulat.

Alhasil, ia harus pulang dengan kondisi tanpa busana. Pfannenstiel menuturkan jika banyak orang yang melihatnya dengan tatapan aneh, tapi beruntung dia tidak mesti berurusan dengan polisi.

"Suatu hari, kami latihan di sebuah taman di sekitar Roehampton. Saya tidak mengenali area itu tentunya. Tiba-tiba saja mereka (para pencuri) menahan saya dan mengambil pakaian saya secara paksa," tukas Pfannenstiel.

"Saya terpaksa berlari sambil telanjang. Beberapa wanita yang tengah berjalan-jalan dengan anjingnya melihat saya dengan tatapan aneh. Yang saya takutkan adalah ditangkap polisi setempat, tapi beruntung saya bisa sampai rumah tanpa berurusan dengan pihak kepolisian," ungkapnya.


2. Ditodong senjata api oleh chairman klub

Manajemen Kaizer Chiefs dan Hoffenheim melakukan kesepatan perihal Pfannenstiel.

Setelah Malaysia dan Inggris, Albania menjadi persinggahan berikutnya. Pfannenstiel beralasan jika gairah para penikmat sepak bola di sana membuat ia tertarik.

Alasannya itu terbukti benar.

Warga Albania, khususnya suporter, begitu mencintai segala hal mengenai sepak bola. Pria yang kini berusia 43 tahun itu menceritakan bagaimana fans akan menganggap para pemain di suatu klub sebagai pahlawan ketika menang, tapi sebaliknya ketika kalah, mereka berbalik menjadikan pemain sebagai public enemy.

"Setelah tim kami kalah, batu-batu berterbangan ke arah kami," kata Pfannenstiel.

"Tantangan sebenarnya adalah ketika Anda bermain sebagai tim tamu. Sepanjang pertandingan, suporter tuan rumah selalu berusaha menyalakan kembang api dan ditujukan ke saya. Awalnya saya sempat ketakutan, tapi lama kelamaan saya menjadi terbiasa (dengan tekanan-tekanan tersebut)!" sambungnya menceritakan pengalamannya di Albania.

Ternyata tidak hanya fans saja yang memiliki perilaku 'mengerikan'. Pfannenstiel menceritakan bahwa ia pernah ditodong senjata api oleh chairman langsung saat membicarakan kontrak.

"Masih di Albania, suatu hari saya menemui chairman untuk membicarakan kontrak baru. Tanpa pikir panjang, ia langsung mengeluarkan senjata api ke mejanya," tukas Pfannenstiel lagi.

"Setelah menceritakan hal itu kepada rekan-rekan saya, mereka hanya tertawa kecil seraya menjelaskan bahwa memang banyak orang Albania yang membawa senjata, terutama saat bernegosiasi. Lagipula, tampaknya saat itu chairman mengeluarkan senjata hanya karena ketika ia duduk, senjata tersebut mengganjal (maaf) buah dzakarnya. Albania tidak semengerikan itu, percayalah!" tutup Pfannenstiel.


3. Dipenjara selama 101 hari karena menggagalkan penalti

Lutz Pfannenstiel memberikan coaching clinic.

Saat usianya menginjak 27 tahun, Pfannenstiel kembali ke Asia. Setelah sebelumnya di Malaysia, kali ini dia memilih untuk bergabung dengan klub Singapura.

Pfannenstiel bergabung dengan Geylang United dengan catatan penampilan sebanyak 46 kali selama kurun waktu 1999-2000. Pengalamannya tidak jauh lebih baik ketimbang di Albania, bahkan mungkin lebih parah: Dipenjara!

Perkara yang membuat ia dipenjara sangat tidak logis, yaitu karena menggagalkan penalti lawan.

"Seseorang bertanya kepada saya apakah saya akan memenangi pertandingan. Secara alamiah saya menjawab 'Ya'. Di laga itu, saya menggagalkan penalti dan kebetulan tim saya menang. Saya tidak menyangka kemudian otoritas sepakbola Singapura mengadakan investigasi skala besar perihal pertandingan tersebut. Mereka tidak menemukan banyak fakta mendukung dan malah kecurigaan ditumpahkan semuanya ke saya," tukas Pfannenstiel.

Di dalam penjara, Pfannenstiel menuturkan pengalaman mengerikannya. Ia mengaku pernah satu sel dengan banyak pelaku kriminal.

"Suatu ketika saya terbangun di sebuah sel penjara dengan 12 narapidana lainnya, mulai dari pemerkosa, pembunuh, orang gila, dan sebagainya. Sungguh menyedihkan bagi saya berada di tempat seperti itu – tidak ada toilet!" katanya lagi.

Meski begitu, hidayah bisa didapatkan di mana saja. Pfannenstiel kini mengaku lebih bisa menghargai kehidupan setelah bertemu dengan salah satu narapidana yang kala itu sedang menunggu eksekusi mati.

"Pengalaman menarik saya adalah saat harus tidur berdampingan dengan narapidana yang akan dieksekusi mati enam bulan ke depan. Mereka sungguh pribadi yang kuat, maksud saya, mereka tahu hidupnya tidak lama. Terlihat di raut wajahnya jika mereka benar-benar ikhlas, sedang saya tidak melakukan apa-apa, saya tidak salah. Saya hanya memenangi pertandingan tapi malah dicebloskan ke penjara. Saat itu saya khawatir pembelaan saya justru berujung dengan dakwaan berlipat." sambung Pfannenstiel.

Setelah 101 hari, ia akhirnya bisa menghirup udara bebas lagi. Pfannenstiel mengaku kapok dan tidak ingin kembali ke penjara.

"Selama 101 hari di penjara, saya kehilangan berat badan sebanyak 16 kilogram. Setelah pengalaman buruk itu, saya berusaha merapikan lagi karir saya dan melupakan kejadian tersebut." pungkasnya.


4. Sakaratul maut hingga 3 kali

Lutz Pfannenstiel pernah sakaratul maut sebanyak tiga kali.

Petualangan gila Pfannenstiel berlanjut di Inggris (lagi), tepatnya bersama tim non-liga, Bradford Park Avenue. Ia mengatakan jika alasan ia bergabung di sana adalah karena pacarnya tinggal di area tersebut.

Pada sebuah pertandingan di laga boxing day, ia bertabrakan dengan Clayton Donaldson – sekarang di Birmingham City. Tulang dada Pfannestiel mengalami kerusakan parah dan ia kolaps.

Hebatnya, itu bukan kali pertama ia sekarat di pertandingan. Dalam beberapa kesempatan, ia tercatat 3 kali mengalami hal serupa.

"Saya masih ingat di sebuah laga, saya mencoba membuang bola keluar dan tiba-tiba saja saya pingsan. Sebenarnya bisa dikatakan kalau saya telah meninggal sebanyak tiga kali. Saya melihat banyak sekali diamon, seperti kaleidoskop. Tidak ada warna selain hitam yang bisa saya lihat. Terkadang muncul cahaya berwarna abu-abu dan putih, semakin mendekat dan mendekat, hingga akhirnya suasana menjadi tenang," kata Pfannenstiel.

"Saya pikir saya telah tewas! Tujuh hari kemudian saya kembali berlatih. Kehadiran saya membuat rekan setim ketakutan karena mereka mengira sedang melihat mayat hidup hahaha!" cerita Pfannenstiel 'senang'.


5. Mencuri penguin untuk teman mandi

Lutz Pfannenstiel

Entah apa yang ada di pikiran Pfannenstien saat tengah berkarir di Selandia Baru bersama Southern United FC. Ia mengaku sebagai pencinta binatang eksotis, dan ketika melihat sekumpulan penguin, tanpa pikir panjang, ia 'meminjam' satu di antaranya.

"Ada liang persembunyian di area pantai, jadi saya menyamar seperti mereka (penguin). Pelan-pelan saya merayap ke sarangnya dan berhasil mendapatkan satu penguin lucu." cerita Pfannenstiel.

"Saya membawanya pulang untuk jadi peliharaan dan teman ketika saya mandi. Saya meletakkan beberapa bongkah es batu agar air tetap pada kondisi dingin. Saya juga membawa beberapa ikan sebagai makanan. Entah mengapa ia bosan dan bukannya memakan ikan-ikan tersebut, saya malah digigitnya," sambungnya lagi.

"Memelihara penguin bukanlah ide bagus, percayalah, baunya sungguh tidak enak. Saya tidak mau menggunakan kamar mandi itu lagi karena baunya tidak hilang-hilang selama beberapa hari! Saya mengembalikan penguin tersebut 36 jam kemudian, tepat di tempat dimana saya mengambilnya. Yang saya tahu dia bahagia di alam bebas," terangnya.

JermanBayern MunchenWimbledonHoffenheimAFC WimbledonLutz PfannenstielIn Depth SportsPenang FA

Berita Terkini