Sepakbola Jadi Alat Mesir untuk Bangkit Usai Alami The Arab Spring
Pada 2010 lalu terjadi efek domino politik di negara-negara Arab. Berawal dari revolusi politik yang terjadi di Tunisia pada 18 Desember 2010 lalu, berlanjut dengan revolusi di Mesir, Libya, Bahrain, Suriah, hingga ke Yaman.
Sejumlah pengamat politik Timur Tengah menyebut fenomena ini sebagai The Arab Spring, atau Musim Semi Arab, sebuah aksi gelombang unjuk rasa dan protes terhadap para pemimpin diktator dari negara-negara tersebut.
Mesir sebagai negara kedua yang alami Arab Spring usai Tunisia berada di level yang menakutkan usai penggulingan Presiden Mesir saat itu, Hosni Mubarak. Ironisnya usai Mubarak turun, Mesir justru alami perang saudara yang tak kunjung selesai.
Di tahun ini, Mesir sebagai negara yang memiliki rekam jejak sejarah panjang sebagai sebuah bangsa berusaha bangkit. Salah satu alat yang digunakan Mesir untuk kembali menunjukkan eksistensinya ialah lewat sepakbola.
Dahulu, Mesir memang salah satu negara di kawasan Afrika Utara yang memiliki banyak pesepakbola berkualitas. Bersama Maroko, Mesir jadi 'penghasil' pemain bintang dari Afrika Utara.
Periode 2000-an, kita tentu masih sangat familier dengan nama Ahmed 'Mido' Hossam. Penyerang asal Mesir yang lama berkarier di sejumlah klub top Eropa seperti Ajax, Marseille, AS Roma, hingga Tottenham Hotspur. Mido pun sukses membawa Mesir juara Piala Afrika pada 2006 lalu.
Usai Mido, Mesir kembali hasilkan pemain berkualitas. Amr Zaki, penyerang yang sempat membela Lokomotiv Moscow, Wigan, dan Hull City. Zaki pada 2008 sukses membawa Mesir meraih titel Piala Afrika usai kalahkan Kamerun di partai puncak.
Mesir memang belum kehabisan stok pemain bintang, nama Mohamed Salah ialah buktinya. Di perhelatan Piala Afrika 2017 yang berlangsung di Gabon sejak 14 Januari 2017 lalu, Mesir coba kembali menunjukkan bahwa mereka belum habis sebagai sebuah negara usai Musim Semi Arab.
1. Berusaha bangkit meski sulit
Pasca jatuhnya rezim Hosni Mubarak dan digantikan dengan sejumlah pemerintah berkuasa dari sipil dan militer, Mesir sebenarnya belum benar-benar pulih dari luka.
Di 2015 saja misalnya, aksi-aksi kekerasan masih sangat sering terjadi. Aksi-aksi kekerasan tersebut bahkan tidak hanya menyasar pada kelompok aktivis politik namun juga para suporter sepakbola.
Hal tersebut bisa terjadi karena sebagian besar kelompok suporter sepakbola di Mesir memang menjadikan momentum Arab Spring sebagai corong untuk menyuarakan banyak kebobrokan yang terjadi di sepakbola Mesir.
Meski masih dilanda banyak aksi kekerasan dan sejumlah aksi demo, sepakbola Mesir berusaha bangkit. Seperti dilansir dari sbnation.com, Mesir sejak 2011 lalu masih mengirimkan Tim Nasional mereka untuk bertanding di ajang resmi baik yang diselenggarakan FIFA ataupun CAF.
Federasi Sepakbola Mesir pun tak main-main untuk membangun kekuataan Timnas mereka. Federasi Sepakbola Mesir bahkan mengontrak sejumlah pelatih berpengalaman untuk mengarsiteki Timnas.
Nama-nama seperti Bob Bradley (mantan pelatih Timnas Amerika Serikat) hingga eks pelatih Inter Milan asal Argentina, Hector Cuper diminta untuk melatih Timnas Mesir.
Penujukkan Cuper pada Maret 2015 lalu menjelang perhelatan Piala Afrika tahun ini merupakan komitmen nyata dari Federasi Sepakbola Mesir untuk kembali menunjukkan pada dunia bahwa The Pharaohs masih eksis.
Namun Cuper belum menujukkan hal bagus bersama Timnas Mesir, wajar sebenarnya jika Cuper belum berbuat banyak. Pasalnya banyak ketidakberesan yang terjadi di sepakbola Mesir usai Arab Spring.
Mulai dari sanksi domestik selama dua tahun dari FIFA kepada sepakbola Mesir hingga masih bercokolnya sejumlah kepentingan rezim politik di susunan pemain untuk Timnas Mesir.
Cuper sendiri sebenarnya sudah berusaha untuk memanggil sejumlah pemain terbaik dari klub lokal Mesir namun sayang masalah politik membuat pria Argentina itu hanya mampu membangun setengah kekuatan dari klub lokal.
2. 'Membuang' generasi lama dan bergantung pada wajah baru
Di awal susunan skuat yang akan dibawa Cuper ke Gabon hanya terdapat empat pemain yang terakhir bermain bersama Timnas Mesir pada 2010 lalu. Mereka adalah Ahmed Elmohamady, Mohamed Abdelshafi, Ahmed Fathi, dan pemain paling tua, Essam El Hadary.
Nama terakhir kemudian menjadi fenomenal di Piala Afrika 2017. Pasalnya Essam El Hadary ialah pemain tertua yang turun di kompetisi resmi, selain itu ia jadi mantan pensiunan pesepakbola yang kembali merumput setelah dua tahun absen.
Cuper sendiri menyebut untuk perhelatan Piala Afrika tahun ini, ia memang 'membuang' sejumlah pemain yang dulu sangat familiar di Timnas Mesir.
Nama-nama seperti Mohamed Aboutrika, Ahmed Hassan, Mido, dan Zidan menurut Cuper merupakan generasi yang berbeda. Cuper disebut-sebut tidak ingin pemain yang ia latih hanya bergantung pada satu atau dua pemain senior.
Alasannya kata Cuper, ketergantungan pada satu atau dua pemain senior hanya akan menimbulkan perpecahan pada satu tim. Sepertinya Cuper belajar dari kasus nyata yang pernah dialami Jerman pada perhelatan Piala Eropa 2000 lalu.
Cuper pun lebih memprioritaskan sejumlah pemain yang bisa dibilang sebagai generasi baru bagi sepakbola Mesir. Mohamed Salah dan Mohamed Elneny ialah pemain yang sangat diharapkan Cuper sebagai penyeimbang di lini tengah saat Timnas Mesir bermain.
Selain dua nama di atas, Cuper pun berusaha mengorbitkan pemain muda Mesir yang saat ini terdaftar sebagai pemain Stoke City, Ramadan Sobhi.
Apa yang dilakukan oleh Cuper ini terbukti akurat. Saat di babak kualifikasi saja, Mesir tercatat sebagai negara yang paling sedikit kebobolan. Mesir hanya kebobolan satu gol.
Harapan untuk bisa kembali membawa sepakbola Mesir ke arah lebih baik pun sedikit terbuka di Piala Afrika 2017 ini. Berada di grup D, Mesir saat ini berada di urutan kedua dengan mengemas 4 poin.
Peluang Salah Cs untuk bisa lolos ke babak perempatfinal sangat terbuka, karena pesaing terdekatnya, Mali baru mengoleksi 1 poin. Mesir hanya butuh hasil imbang melawan Ghana sebagai pemuncak klasemen untuk bisa melangkah ke babak perempatfinal.
3. Ingin mengulang memori 1974 dan 1986
Mesir tidak hanya satu kali mengalami sebuah aksi revolusi di bidang politik. Pada 1952 misalnya, sejumlah gerakan perwira muda yang dipimpin oleh Gamal Abdel Nasser melakukan revolusi untuk gulingkan kekuasaan Raja Faruq.
Selang 22 tahun kemudian, Timnas Mesir hampir meraih titel pertamanya di Piala Afrika. Bertindak sebagai tuan rumah Piala Afrika 1974, Ali Abo Greisha cs harus puas sebagai juara ketiga event tersebut.
Mesir 1974 gagal ke partai puncak usai dikalahkan Zaire di babak semifinal. Zaire sendiri akhirnya keluar sebagai juara usai kalahkan Zambia di laga final yang masih menggunakan sistem home and away.
Sebenarnya Mesir sudah pernah meraih titel juara Afrika pada 1957 dan 1959, namun saat itu mereka masih menggunakan nama Republik Uni Afrika.
Pada perhelatan Piala Afrika 1986, Mesir yang kembali menjadi tuan rumah sukses meraih titel Piala Afrika. Bertemu Kamerun yang saat itu diperkuat oleh bintang mereka, Roger Milla, Taher Abouzaid cs sukses pecundangi mereka lewat babak adu penalti usai di waktu normal hanya mampu bermain tanpa gol.
Piala Afrika 2017 ini, Mesir pun berupaya untuk kembali meraih titel juara di tengah kondisi dalam negeri yang masih berada di kondisi transisi secara politik, sosial, dan budaya. Sama persis yang mereka alami usai revolusi 1952.