Amedspor dan Etnis Kurdi, Sebuah Politik Pahit di Lapangan Hijau
FOOTBALL265.COM - Sepak bola Turki baru-baru ini digemparkan dengan insiden kekerasan antarpemain. Seorang pemain dari klub Amedspor yang bernama Mansur Calar dituding melukai leher pemain Sakaryaspor menggunakan silet dalam sebuah pertandingan kasta ketiga Liga Turki.
Indsiden ini menjadi viral saat sejumlah pemain Sakaryaspor memamerkan bekas luka goresan di media sosial. Federasi Sepak Bola Turki (FFT) pun menghukum Mansur Calar berupa larangan main seumur hidup dan denda 3.500 pound (Rp59 juta).
Buntut dari persoalan ini, suporter Amedspor dilarang datang ke stadion tiap klubnya bertanding baik kandang maupun tandang.
Bagi pemerintah Turki, hal ini dilakukan demi alasan keamanan. Namun lain ceritanya bagi suporter Amedspor.
Larangan ini dianggap tak lepas dari konflik etnis yang terjadi antara Turki dan Kurdi. Maklum, Amedspor merupakan klub yang berasal dari kota terbesar di wilayah Kurdi.
Amedspor, di Antara Konflik Turki dan Kurdi
Amedspor atau Amed SK merupakan klub sepak bola asal Kota Diyarbakir yang terletak di daerah tenggara Turki. Klub ini didirikan pada tahun 1990 dengan nama awal Diyarbakir Buyuksehir Belediyespor.
Amedspor dianggap sebagai klub para kaum Kurdi karena bermarkas di Kota Diyarkbir, kota terbesar di tenggara Turki yang mayoritas didiami oleh orang-orang etnis Kurdi.
Pergantian nama ke Amedspor pada 2014 menjadi sebab mereka makin dipojokkan dan dianggap sebagai klub orang-orang Kurdi. Pasalnya, nama Amed diambil dari wilayah luas yang juga mencakup Kota Diyarbakir.
Amedspor bukan tim besar dan hanya bermain di kasta ketiga. Namun, pertandingan mereka kerap dipenuhi konflik dan konfrontasi antarfans.
Apalagi sebabnya jika bukan konflik antara etnis Kurdi dan pemerintahan Turki. Konflik yang telah menelan 40 ribu lebih korban jiwa.
Tensi di Sepak Bola
Apa yang menimpa Mansur Calar pada 2 Maret lalu hanyalah percikan dari api konflik yang melebar ke lapangan hijau.
Selepas insiden penyiletan pemain, Mansur Calar dijuluki oleh media pro pemerintah sebagai 'Teroris dengan silet'.
Calar mengelak dan menyebut dirinya korban kampanye politik untuk melawan Amedspor.
"Omong kosong, bagaimana bisa seorang pemain sepak bola membawa silet dan melukai lawannya? Itu mustahil," ujar Calar kepada BBC.
Entah ia benar melakukannya atau tidak, yang jelas kasus ini kental dikatikan dengan sentimen etnis Kurdi.
Pada 2016 lalu, petinggi Amedspor bahkan pernah dipukuli oleh massa di Ibu kota Ankara seusai laga melawan Ankaragucu.
Pada 2017, giliran pemain Amedspor keturunan Jerman-Kurdi dilarang main seumur hidup karena dituduh menyebarkan dukungan untuk Partai Pekerja Kurdi (PKK) di media sosial.
Setiap laga tandang yang dilalui oleh Amedspor sering dijumpai gambar serigala abu-abu, lambang kaum nasionalis Turki.
Bendera Turki berukuran raksasa juga dibawa oleh suprter lawan sambil meneriakan slogan "Kurdi pergi! Teroris pergi!" atau "Ini Turki, bukan Kurdistan,"
Pemilik Amedspor, Ali Karkaas, kecewa pada apa yang menimpa klubnya dan sempat berucap bahwa sepak bola telah terpolarisasi dengan sentimen politik.
"Sepak Bola adalah Pusat Politik di Turki," katanya.
Polarisasi juga terjadi di tim wanita Amedspor. Berbeda dengan tim pria, tim wanita Amedspor bermain di kasta teratas Liga Turki. Para pendukung tim pria Amedspor sering ikut mendukung tim wanita Amedspor.
Pengamanan bagi para pemain Amedspor tiap melawan tim-tim dari luar pun sangat ketat. Bahkan, salah saeorang pemain wanita Amedspor pernah menyebut laga layaknya persiapan untuk perang.
Namun, di antara pengawalan super ketat dari kepolisian, suporter Amedspor tetap berusaha memberikan dukungan dengan chant-chant yang menunjukkan kedamaian.
"Amedspor - Eyupspor! bergandengan tangan, berangkulan, kedua tim bersatu! Damai di dalam stadion! Hei, media pro-pemerintah, apa kalian mendengar kami? Apakah kalian lihat kami meneriakan chant kedamaian?"
1. Sejarah Panjang Konflik Turki-Kurdi
Konflik yang terjadi antara etnis Kurdi dan Turki berakar dari puluhan tahun yang lalu, tepatnya pada masa selesai Perang Dunia I.
Saat itu negara-negara Barat dan Kerajaan Ottoman Turki berusaha membagi wilayah yang kini kita kenal dengan Turki.
Setelah Kesultanan Ottoman runtuh, muncul tokoh nasionalis bernama Mustafa Kemal Ataturk. Mustafa Kemal berjuang melawan kaum imperialis barat yang ingin memecah wilayah Turki.
Demi mendirikan negara baru bernama Republik Turki, Mustafa Kemal meminta dukungan dari etnis Kurdi yang mendiami tenggara wilayah Turki.
Sebagai gantinya, Mustafa Kemal yang dijuluki Ataturk (Bapak Bangsa Turki) menjanjikan etnis Kurdi wilayah tenggara untuk dikuasai sepenuhnya.
Perang berakhir dan negara Turki berdiri pada 1934. Jutaan warga Kurdi mendiami wilayah tenggara dipimpin oleh sosok nasionalis, Mustafa Kemal Ataturk.
Namun seiring waktu, Republik Turki ingin menghapus segala identitas etnis Kurdi dan menggantikannya dengan Turki.
Belasan juta jiwa etnis Kurdi dilarang menggunakan bahasa mereka di media, televisi, sampai panggung politik.
Gerakan perlawanan pun lahir. Dipimpin oleh Abdullah Ocalan, berdiri Partai Pekerja Kurdistan pada tahun 1978. Partai beraliran Marxist ini terus merongrong kekuasaan dari pemerintah Turki sampai akhirnya dicap kelompok separatis dan teroris.
PKK yang dimpin oleh Ocalan memiliki tujuan untuk menyatukan etnis Kurdi yang tersebar di negara-negara Timur Tengah ke dalam negara di wilayah tenggara di Turki.
Perjuangan bersenjata pun dilakukan. Namun, setelah perjuangan panjang, Ocalan akhirnya ditangkap oleh Intelejen Turki dan CIA. Ia divonis mati pada tahun 1999 sebelum akhirnya diubah menjadi hukuman seumur hidup (aturan hukum diubah menyusul Turki yang masuk Uni Eropa).
Beberapa tahun belakangan ini ketegangan di antara Turki dan Kurdi mulai mereda seiring menangnya Partai Keadilan dan Pembangunan (AK) di Turki. Walau begitu, konflik masih terjadi di sejumlah tempat hingga saat ini.
Terus Ikuti Perkembangan Sepak Bola Internasional dan Berita Olahraga Lainnya Hanya di FOOTBALL265.COM