Mengenang Kisruh PSSI di Tengah Krisis Mei 1998
FOOTBALL265.COM – Aksi ‘People Power’ 22 Mei 2019 yang akan memadati ibu kota Jakarta menyedot perhatian publik, baik di lingkungan masyarakat maupun media sosial.
Gelombang massa yang masif untuk menyerukan protes adanya dugaan kecurangan pada Pemilu serentak 2019 memunculkan kekhawatiran.
Indonesia memiliki memori gelap apabila mengingat peristiwa kelam krisis Mei 1998. Ekonomi dalam negeri terpuruk dan suhu politik memanas, sepak bola Indonesia turut terkena dampaknya.
Suhu politik Indonesia yang tinggi menciptakan iklim yang tidak kondusif untuk melaksanakan acara olahraga, khususnya sepak bola.
Sebagai olahraga yang paling digandrungi, sepak bola telah menjadi kebutuhan pokok masyarakat bahkan 'agama'. Kerusuhan 14 Mei di Jakarta turut merenggut kenikmatan masyarakat untuk menyaksikan pertandingan bal-balan.
PSSI sebagai pemegang otoritas tertinggi sepak bola Indonesia terpaksa menunda/membatalkan kelanjutan kompetisi Liga Indonesia IV.
Mereka khawatir adanya penumpukan massa akan memunculkan kondisi-kondisi yang tidak kondusif dalam penyelenggaraan pertandingan.
Pemberhentian kompetisi tentu menimbulkan masalah baru yang tidak kalah pelik. Bagaimana dengan sikap AFC melihat kondisi krisis yang terjadi di Indonesia?
1. AFC Menyikapi Pemberhentian Liga Indonesia
AFC tidak mempunyai wewenang dan tidak berhak menetapkan konsekuensi tertentu kepada PSSI atas keputusan yang diambil. AFC tidak bisa memberikan sanksi pada PSSI karena pembatalan kompetisi akibat situasi kisruh.
Dalam kondisi kisruh semacam ini, PSSI juga kesulitan mendapatkan izin AFC untuk menyelenggarakan pertandingan Timnas Indonesia di level internasional.
AFC harus menilai terlebih dahulu kondisi keamanan sebelum memberikan izin bertanding. Jikalau saja memberikan izin, Indonesia tinggal mau atau tidak menanggung risiko yang ada.
Indikasi sederhana yang lebih buruk berdampak kepada lingkungan yang lebih dekat, yakni klub, pemain, dan industri sepak bola.
Hilangnya hiruk-pikuk kompetisi akan mematikan industri sepak bola. Pemain tidak bisa bertanding, klub tidak bisa mendapatkan pemasukan, begitu pula rakyat yang roda ekonominya mandek karena matinya geliat sepak bola Indonesia.
Berhentinya kompetisi juga berdampak ke Timnas Indonesia. Tidak adanya kompetisi berarti menghambat peluang pemain berkualitas masuk ke tim nasional.
PSSI juga akan kesulitan mengirim perwakilan ke kompetisi Asia, meski mereka bisa saja menunjuk klub untuk menjadi wakil di perhelatan tersebut.
Meski begitu, klub yang kuat lahir dari ketatnya kompetisi. Pemain yang berkualitas juga tertempa dari rutinnya pertandingan yang mereka jalani.
2. Suhu Politik Memanas, Sepak Bola Jadi Korban
Dampak potensi kericuhan pengumuman Pemilu 2019 sebenarnya telah terasa ke gelaran kompetisi Shopee Liga 1 2019. Pertandingan Persib Bandung vs Tira Persikabo yang sejatinya dihelat Kamis (23/05/19) terpaksa ditunda ke tanggal 18 Juni 2019.
Dampaknya, Persib Bandung harus menjalani pekan yang berat sebab mereka akan bertandang ke markas Arema FC dua hari sebelumnya (16 Juni).
Pengaruh buruk dari situasi panas politik di Indonesia telah terjadi pula sebelumnya. Dampak panasnya tensi politik di Pemilu 2019 membuat pertandingan babak 8 besar Kratingdaeng Piala Presiden 2018/19 antara Persebaya Surabaya vs Madura United berulang kali mengalami penundaan.
Situasi panas politik semacam ini jelas merugikan tidak hanya masyarakat awam, tetapi pecinta dan pegiat sepak bola Indonesia.
Sudah saatnya masyarakat Indonesia yang bertikai karena politik mulai berdamai dengan lawannya dan juga diri sendiri. Situasi yang aman akan memberi harapan ke depan soal prestasi dan kejayaan negeri.
Ikuti Terus Berita Sepak Bola Indonesia dan Olahraga Lainnya di FOOTBALL265.COM