x

Kilas Balik Piala Dunia 2014: Kesuksesan Timnas Jerman Mengikis Stigma Diktator

Jumat, 7 Juni 2019 07:02 WIB
Penulis: Fuad Noor Rahardyan | Editor: Isman Fadil
Timnas Jerman mengangkat trofi Piala Dunia 2014.

FOOTBALL265.COM – Keberhasilan Timnas Jerman menjuarai Piala Dunia 2014 tak lepas dari keberhasilan DFB (federasi sepak bola Jerman) menghilangkan budaya ‘kediktatoran’ lewat sistem pendidikan yang terencana dengan baik.

Hal tersebut tertuang dalam buku Das Reboot: How German Football Reinvented Itself and Conquered The World oleh Raphael Honigstein (2015). Dalam sebuah wawancara pada Mei 2004, Jens Lehmann, yang saat itu menjadi kiper utama Arsenal, mengungkapkan satu permasalahan besar sepanjang sejarah sepak bola Jerman.

Masalah itu ialah führungsspieler, atau the leading player, yang menggambarkan pemain yang paling diandalkan untuk membawa timnya meraih kemenangan.

Baca Juga

Masih lekat dalam ingatan bagaimana Oliver Kahn memimpin skuad Jerman pada Piala Dunia 2002 yang berhasil menembus final. Saking bagusnya performa Kahn, salah satu komentator sepakbola Jerman, Marcel Reif, menggambarkan Jerman di turnamen tersebut dengan 3K—Kampf (bertarung), Kopfball (sundulan), dan Kahn.

Di samping Kahn, ada juga Michael Ballack yang dipasang pelatih Rudi Voller sebagai sistem permainan itu sendiri. Bahkan, Voller menyebut secara terang-terangan formula kemenangannya: “clean sheet dan tendangan Ballack dari luar kotak penalti.”

Hal itu nyatanya terbukti pada partai final: absennya Ballack karena akumulasi kartu dan kesalahan Kahn di saat-saat akhir membuat Jerman harus puas di tempat kedua. Jerman takluk dari dua gol Brazil yang diciptakan oleh Ronaldo Nazario.

Publik Jerman memuja keduanya sebagai pemain bintang. Hal itu cukup beralasan karena Kahn menyabet World Cup XI, Golden Ball, dan Golden Glove sekaligus. Namun, sosok Kahn dan Ballack menyiratkan permainan Nationalmannschaft yang tidak ada variasi secara taktikal.


1. Karakter Keras dan Ego Tinggi

Ronaldo vs Oliver Kahn

Tak hanya dari segi permainan, führungsspieler dikenal dengan karakter keras dan ego tinggi. Jauh sebelum Kahn, publik sepakbola dunia tidak asing dengan pemain pemimpin seperti Friedrich ‘Fritz’ Walters, Franz Beckenbauer, atau Lothar Matthaeus.

Keikutsertaan Nationalmannschaft pada Piala Dunia 1982 Spanyol memperkuat stereotip karakter tersebut. Harald ‘Toni’ Schumacher, salah satu pemain kunci Jerman saat itu, dengan brutal menerjang pemain Prancis, Patrick Battiston, ketika sedang berebut bola di kotak penalti pada babak semifinal.

Battiston mengalami cedera tulang belakang dan kehilangan dua giginya. Schumacher, yang tidak dikenai hukuman kartu, bertingkah seolah tidak ada apa-apa dan hanya melempar gestur ledekan untuk melanjutkan pertandingan.

Setelah laga usai dengan kemenangan Jerman, Schumacher merespon kejadian tersebut dengan menawarkan perawatan Battiston dengan nada sarkas.

Baca Juga

Kejadian tersebut sempat memicu krisis politik kedua negara dan baru reda ketika Kanselir Helmut Kohl (Jerman) dan Presiden Francois Mitterrand (Prancis) menggelar pertandingan persahabatan pada 1984.

Winston Churchill, Perdana Menteri Inggris medio 1940-1945, pernah menyatakan bahwa ia mengagumi orang-orang Jerman, tetapi tidak dalam hal ‘menyanjung kekuatan para pemimpinnya’. Inti dari pernyataan tersebut, secara tidak langsung, ialah sebuah tim tidak perlu terlalu bertumpu pada satu orang.


2. Kesadaran Nilai 'Diktator' yang Usang

Timnas U-21 Jerman di perhelatan Euro U-21

Kultus führungsspieler perlahan mulai terkikis dengan reformasi pendidikan untuk pesepakbola muda Jerman yang dimulai pada 2000. Ide ini sebenarnya telah dicanangkan pada 1996 seiring dengan rencana Jerman untuk maju sebagai tuan rumah Piala Dunia 2006.

Namun, DFB baru menjalankan empat tahun kemudian seiring dengan kegagalan timnas senior Jerman di Piala Dunia 1998. Die Nationalmannschaft disingkirkan oleh Kroasia 0-3 pada perempatfinal dan kemudian terhenti di fase grup Piala Eropa 2000.

Kegagalan di turnamen tersebut disebabkan penurunan kualitas pemain dan usia rata-rata skuat Euro 2000 yang sangat tinggi.

Saat itu, hanya Ballack dan Sebastian Deisler yang berusia di bawah 25 tahun. Eksodus pemain asing ke Bundesliga pun memperkecil kesempatan talenta lokal untuk menunjukkan dirinya.

Kesadaran akan tidak bisa terus-menerus bertumpu pada satu pemain pemimpin pun memperkuat urgensi inovasi pembinaan pemain muda.


3. Pembangunan Infrastruktur Sepak Bola

Gelandang Timnas Jerman, Toni Kroos, pada perhelatan Piala Dunia 2018.

DFB membangun jaringan perekrutan pemain U-12 dan tempat pelatihan pemain muda yang setidaknya tersebar dalam 366 lokasi seantero Jerman. Desentralisasi pelatihan mampu menjangkau talenta yang berasal dari daerah terpencil.

Ditemukannya Toni Kroos yang tinggal di Greifswald, salah satu daerah terpencil Jerman, kemudian menjadi salah satu buah manis kebijakan ini.

Selain itu, pemain muda belum berkesempatan bermain di klub bisa menjalani latihan dengan mengandalkan materi kurikulum DFB; yang selalu diperbarui demi optimalisasi.

Bundesliga Jerman sebagai penyelenggara kompetisi level tinggi pun turun tangan. Sejak musim 2002/03, untuk bisa berkompetisi di level atas, semua klub diharuskan memiliki akademi pemain muda agar mereka memiliki jalan masa depan yang lebih jelas.

Baca Juga

Untuk membina para pemain muda, tiap akademi klub mengadakan kerjasama dengan sekolah terdekat yang memiliki kelayakan. Pemain muda mendapatkan jadwal berlatih tanpa meninggalkan sekolahnya.

Volker Kersting, Direktur Akademi FSV Mainz 05, berpendapat bahwa sekolah adalah prioritas utama. Menurutnya, menjadi pemain pintar dengan kemampuan baik ialah kewajiban. Namun, kedewasaan yang terbentuk dari pendidikan akan menjadi kualitas krusial yang dapat membekali diri sendiri atas apa pun yang terjadi kelak.

Menarik untuk mengutip pengalaman Philipp Lahm, sebagai generasi pertama hasil pembaruan sistem pendidikan: “Semuanya dilakukan dengan sangat profesional. Saya ingat dulu pergi latihan bersama Bayern setiap Selasa dan Kamis sepulang sekolah pada pukul dua siang. Latihan, makan siang, lalu dilanjutkan 90 menit belajar lagi bersama guru, dan pergi latihan lagi. Saya juga harus mengerjakan tugas sekolah karena mereka rutin cek nilai.”


4. Pendidikan Mental Sejak Usia Dini

Lahm dan Schweinsteiger.

Dalam sistem pelatihan tersebut, DFB menekankan edukasi mental di tempat pertama. Pasalnya, semakin besar pemain muda menggantungkan harapan sebagai pesepakbola, semakin besar pula tekanannya. Tingkat depresi di masa depan akibat kegagalan akan menghantui.

Ulf Schott, Direktur DFB, kemudian memperkuat pentingnya edukasi mental: “Tugas kami adalah menghilangkan tekanan itu. Di sinilah kami memberi pemahaman akan pentingnya keluarga, teman, dan pendidikan. Kami juga menyediakan bantuan psikologis kapan pun mereka butuh.”

Kebutuhan fisik yang berat dalam sepakbola modern pun semakin membutuhkan kekuatan mental tingkat tinggi. Tiap pemain muda dituntut untuk memiliki kesabaran untuk mendengarkan dan memperbaiki kesalahan yang diperlihatkan lewat sesi analisa video latihan.

Baca Juga

Mereka juga dilatih untuk bisa berfungsi dalam ketidaknyamanan di berbagai situasi dan posisi. Dengan kata lain, seluruh sesi di atas membiasakan profesionalitas pesepakbola muda dengan tekanan di dalam dan luar lapangan.

Hasil dari pendidikan mental setidaknya tercermin dari sosok Lahm dan Bastian Schweinsteiger. Kedua produk akademi Bayern Munich ini, yang kemudian menjadi pilar penting di tim senior yang sama, menghapus stigma kapten FC Hollywood yang lekat dengan sensasi.

Kedua sosok tersebut lebih tenang, dapat beradaptasi dengan baik, dan memiliki persona sebagai pemain yang bisa diandalkan. Markus Horwick, press officer Bayern Munich, mengungkapkan alasan bahwa pemain produk akademi tidak lagi membutuhkan media training karena profesionalitas yang terasah sejak usia dini.


5. Buah Kesuksesan 14 Tahun

Lukas Podolski memegang trofi saat Jerman juara Piala Dunia 2014.

Proses selama 14 tahun itu berbuah manis di Brasil 2014. Lahm dan Schweinsteiger sukses memimpin Nationalmannschaft menjuarai Piala Dunia 2014. Pada awalnya, figur kapten Jerman yang cenderung ‘lembek’ dibandingkan dengan pendahulunya sempat dijadikan bahan teguran keras berupa ketiaadan karakter.

Namun, mereka berhasil membuktikan diri sebagai figur pemimpin era baru; dan führungsspieler tidak lagi relevan.

Peran sebagai kapten ala mereka ialah kecerdasan mendorong rekan setimnya untuk maju bersama. Raihan titel 2014 pun juga berkat skuad dengan kesamaan mentalitas juara.

Per Mertesacker yang dicadangkan mau berlarian sebagai pengantar botol minuman di pinggir lapangan saat kontra Perancis di babak perempatfinal. Sami Khedira yang awalnya masuk line-up­ pun mengorbankan posisi starternya untuk Christoph Kramer karena menderita cedera otot betis sebelum partai final. 

Baca Juga

Jika menilik skuat Jerman sekarang, kekuatan besar mereka dianugerahi melimpahnya pemain muda. Pensiunnya generasi Lahm dan Schweinsteiger tak perlu dipusingkan dengan regenerasi berlangsung cepat.

Leroy Sane, Leon Goretzka, Timo Werner, Niklas Sule, Joshua Kimmich, Kai Havertz, dan nama-nama pengisi skuat Jerman lainnya saat ini sudah menjadi tumpuan di klub masing-masing. Ini tinggal tunggu waktu saja apakah mereka bisa ‘meledak’ seperti para seniornya atau tidak.

Piala Dunia Brasil 2014JermanPhilipp LahmBundesliga JermanLukas PodolskiBayern MunchenBastian SchweinsteigerManuel NeuerBola InternasionalSepak Bola

Berita Terkini