Cerita Sukses J-League Jepang, 'Murid' Liga Indonesia yang Kini Rajai Asia
FOOTBALL265.COM - Cerita kebangkitan J-League Jepang, 'mantan murid' kompetisi Liga Indonesia yang kini malah sukses merajai turnamen Asia.
J-League atau kompetisi sepak bola Jepang sendiri memang tengah menjadi perbincangan belakangan ini, terutama bagi para penggemar Timnas Indonesia lantaran muncul kabar bahwa salah satu penggawanya layak mentas di sana.
Adalah Osvaldo Haay, pemain Persija yang menurut salah satu media asal Malaysia dikabarkan bisa bermain di Liga Jepang sebagai salah satu alternatif tim peserta untuk memenuhi kuota pemain ASEAN mereka.
Menurut laman VocketFC, disebutkan bahwa Osvaldo Haay harus memperkuat klub di kasta kedua Liga Jepang terlebih dahulu untuk menimba pengalaman.
"Osvaldo merupakan penyerang muda terbaik yang dimiliki Indonesia saat ini. Dia membantu skuat Garuda U-22 tahun memenangi AFF U-22 pada 2019 selain menjadi pencetak gol terbanyak SEA Games 2019," tulis VocketFC.
"Osvaldo boleh diberikan peluang untuk beraksi di J2 seperti Hadi Fayyadh untuk menimba pengalaman," tambah laman tersebut.
Meski rumor ketertarikan klub Jepang terhadap Osvaldo Haay belum terbukti sejauh ini, namun andai sang pemain memang benar direkrut peserta J-League tentu menjadi keuntungan besar buat Osvaldo dan juga Timnas Indonesia.
Apalagi Liga Jepang dikenal sebagai salah satu penghasil bakat pesepak bola terbaik di Asia dan dunia. Terbukti banyak legenda benua kuning yang juga bintang Liga Eropa lahir dari kompetisi ini.
Teranyar ada Takumi Minamino, mantan pemain Cerezo Osaka yang kini sukses berseragam Liverpool usai dibeli dari Red Bull Salzburg dengan harga 7.25 juta pounds pada awal Januari 2020 lalu.
Selain penyumbang pemain ke klub papan atas Eropa, kompetisi J-League juga berhasil merajai sejumlah turnamen penting benua Asia bahkan tampil pada kejuaraan dunia.
Sejak berdiri pada tahun 1992 silam, tercatat tim-tim dari Liga Jepang berhasil mencapai 11 kali partai final di ajang Liga Champions Asia sampai saat ini, dengan 7 diantaranya berakhir kemenangan dan sisanya adalah runner up.
Urawa Red Diamonds menjadi tim Jepang yang paling sering tampil di final dan meraih juara. Klub yang bermarkas di stadion Saitama 2002 tersebut sudah tiga kali melangkah ke final pada tahun 2007, 2017 dan 2019.
Dengan capaian terbaik di musim 2007 dan 2017 saat mereka keluar sebagai juara. Bahkan Urawa Reds pernah meraih peringkat ketiga pada turnamen FIFA Club World Cup (Kejuaraan Dunia Antarklub) pada tahun 2007 silam.
Di ajang tersebut, Urawa sempat bertemu AC Milan yang menjadi juara Liga Champions musim 2006/07, dan mereka hanya kalah tipis 1-0 berkat gol semata wayang Seedorf menit ke-68'.
Namun meski dikenal sebagai salah satu kompetisi terbaik di Asia dan penghasil bakat sepak bola terbanyak, faktanya J-League pernah berguru dan belajar kepada Liga Indonesia. Lantas seperti apa kisahnya? Berikut INDOSPORT coba merangkum serta menulisnya.
1. J-League, Murid Liga Indonesia yang Terlalu Pintar
Cerita romansa Liga Jepang dan Indonesia sendiri berawal pada tahun 1991. Pada saat itu, kompetisi sepak bola Jepang masih melakukan pembenahan akibat liga mereka masih semi-profesional.
Disebutkan bahwa kompetisi Liga Jepang saat itu diikuti oleh beberapa perusahaan-perusahaan lokal, dan pemainnya berasal dari pegawai mereka sendiri. Hampir serupa dengan kompetisi Galatama di Indonesia.
Jauh sebelum bergulirnya Liga Indonesia, kompetisi sepak bola di Tanah Air terbagi menjadi dua turnamen besar yakni Liga Perserikatan dan Galatama.
Nama terakhir merupakan kompetisi semi-profesional yang diproyeksikan sebagai cikal bakal kompetisi profesional Indonesia ke depannya.
Berbeda dengan Perserikatan, kompetisi di Liga Galatama beranggotakan klub-klub baru yang pendanaannya ditopang oleh perusahaan swasta, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), serta pengusaha maniak sepak bola.
Berbekal pengelolaan klub di Liga Galatama yang dianggap baik, perwakilan Jepang pun datang langsung ke Indonesia untuk mempelajari sistem serta cara kerja spesifik dari kompetisi ini.
Jepang melihat bahwa model kompetisi Galatama yang mendapat sokongan dana serta bantuan perusahaan besar merupakan sistem yang baik untuk sepak bola. Model ini pun terus mereka pertahankan hingga sekarang meski ada beberapa variasi peraturan yang ditambahkan.
Salah satu peraturan tambahan yang dibuat J-League adalah pembinaan usia muda, sehingga dana sponsor perusahaan yang masuk harus digunakan klub untuk pengembangan akademi dan tim junior mereka.
Liga profesional Jepang pun akhirnya digulirkan pertama kali pada tahun 1996. Ketika itu, Galatama sudah tak lagi ada lantaran kompetisi dilebur menjadi satu dengan Liga Perserikatan tahun 1994 silam.
Hanya butuh setahun, produk awal J-League yang sempat mencontoh Galatama langsung lahir, yakni Hidetoshi Nakata, yang bermain untuk Bellmare Hiratsuka dan menjelma sebagai The Asian Player of The Year pada tahun 1997.
Kebijakan pembinaan pemain muda oleh tiap klub juga berdampak pada Timnas Jepang, di mana sejak 1995 silam mereka tak pernah absen masuk Piala Dunia Junior dan sejak 1998 juga selalu tampil di Piala Dunia Senior.