Kisah Juara Liverpool dan Arseto Solo: Bukti Kesabaran Berbuah Tinta Emas
FOOTBALL265.COM - Liverpool mengukuhkan diri sebagai juara Liga Inggris 2019-2020. Kekalahan sang rival utama, Manchester City, dari Chelsea, Jumat (26/6/20) lalu membuat mereka tak mampu lagi mengejar pasukan Jurgen Klopp di sisa kompetisi.
Belum cukup, Liverpool juga memecahkan rekor juara tercepat sepanjang sejarah Liga Inggris. Mereka memastikan gelar kampiun di pekan ke-31, atau masih menyisakan tujuh laga sekaligus memecahkan rekor Manchester United edisi 2000-2001 (sisa lima laga).
Perjuangan heroik dan ujian konsistensi Jordan Henderson dkk. bak oase di tengah padang pasir. Betapa tidak, seluruh penggemar Liverpool harus menunggu hingga 30 tahun untuk melihat tim kesayangannya kembali meraih gelar juara Liga Inggris.
Olok-olok 'next year' hingga pelesetan YNWA menjadi 'You'll Never Win Again dari penggemar klub rival, terutama Manchester United. Nirgelar juara menjadi menu yang dilahap setiap musim.
Maklum saja, kubu Setan Merah 'menggila' di era Premier League hingga menyalip sang rival dengan 20 gelarnya. Namun Jurgen Klopp, si pria berkacamata itu, perlahan tapi pasti membangun 'mesin' tim di setiap musimnya.
Kesabaran Klopp bersama jajaran manajemen perlahan mulai mengembalikan identias permainan Liverpool. Setelah tahun lalu merengkuh gelar Liga Champions, musim ini giliran titel yang diidam-idamkan, apalagi kalau bukan trofi Liga Inggris.
Berbicara kesabaran, kisah Liverpool juga pernah dialami salah satu klub legendaris Indonesia, Arseto Solo. Penantian panjang dan jatuh bangun dijalani tim Biru Langit sebelum meraih titel tertinggi era Galatama.
1. Arseto Solo Juara Galatama 1992
Siapa yang tidak kenal Arseto? Klub kepunyaan putra Presiden RI ke-2, Soeharto, itu didirikan di Jakarta pada 1978 sebelum diboyong ke Kota Bengawan medio 1983.
Bermodalkan dana melimpah, tim yang bermarkas di Stadion Sriwedari itu selalu mendatangkan pemain jempolan. Cukupkah untuk juara? Ternyata apa yang diraih Arseto Solo saat itu bak padi ditanam tumbuh ilalang. Gelar kampiun yang dinanti tak juga-juga datang.
Berjalan dua tahun di Solo, Arseto baru mendapatkan gelar runner-up Galatama edisi 1985 setelah kalah dari Krama Yudha Tiga Berlian di final kejuaraan.
Prestasi itu berbanding terbalik dengan sang rival, Pelita Jaya, yang sukses membawa pulang trofi edisi 1988/89 dan 1990. Kedua tim memang terlibat persaingan sengit di era Galatama hingga Liga Indonesia.
Maklum saja, keberadaan Sigit Soeharto di Arseto dan Nirwan Bakrie sebagai pemilik Pelita Jaya bersaing dalam 'menguasai' sepak bola Indonesia. Ibarat persaingan Manchester United dan Liverpool yang saling sikut demi gelar prestise bernama Premier League.
Namun sama seperti pasukan The Reds, kesabaran akan membuahkan hasil manis. Setelah menunggu 14 tahun, anak-anak 'Mes Kadipolo' akhirnya melepas dahaga berupa juara Galatama 1992 setelah poinnya tak mampu dikejar Pelita Jaya di klasemen akhir.
Kapten Arseto Solo saat juara 1992, Inyong Lolombulan, menyebut butuh perjuangan ekstrakeras dan kesabaran sebelum merengkuh gelar Galatama. Ikhtiar dan evaluasi dilakukan setiap akhir musim guna mencatat segala kekurangan untuk perbaikan di musim selanjutnya.
"Setelah musim selesai semuanya berkumpul mulai manajemen, pelatih, hingga pemain membahas apa yang masih kurang. Kemudian musim depan diperbaiki terus-menerus hingga akhirnya bisa juara Galatanma 1992," kata Inyong kepada INDOSPORT beberapa waktu lalu.
Kisah perjuangan dan kesabaran Liverpool dan Arseto Solo bisa menjadi pelajaran. Sebab, sepak bola butuh proses, termasuk untuk meraih tinta emas alias gelar juara.