Serial Liga Indonesia Sistem Wilayah: Dekade 2000-an, Luar Jawa 'Berontak'
FOOTBALL265.COM - Sejarah mencatat kompetisi sepak bola kasta tertinggi Indonesia pernah identik dengan pembagian wilayah. Sebuah model yang belakangan mencuat sebagai opsi untuk diterapkan di Liga 1 2021.
Sekadar mengingatkan, Liga 1 2020 dipastikan bubar di tengah jalan tanpa memunculkan juara maupun pesakitan degradasi. Musim baru lantas diagendakan berlangsung setelah lebaran alias Hari Raya Idul Fitri, sekitar Mei atau Juni mendatang.
Meski telah memastikan bakal menggelar Liga 1 2021, PSSI dan PT Liga Indonesia Baru (LIB) selaku operator belum menentukan formatnya akan seperti apa mengingat kompetisi nantinya berputar di tengah pandemi virus corona.
Apakah tetap mempertahankan skema normal dengan catatan sentralisasi di Pulau Jawa atau malah balik ke format lama, yaitu membagi rata peserta ke dalam dua wilayah?
Model yang disebut belakangan dinilai cocok untuk kondisi geografis Indonesia. Wilayah nusantara luas dan berbentuk kepulauan mendukung penerapan kompetisi model zonasi. PSSI pun bisa berkaca kepada Liga Amerika Serikat (MLS).
Berdasarkan data situs ternama Statista, Amerika Serikat merupakan negara paling besar ketiga di dunia setelah Rusia dan Kanada. Masuk akal bila kemudian MLS menggunakan format dua wilayah (Eastern dan Western) untuk mempermudah akses dan mobilisasi klub-klub peserta.
Wacana dua wilayah tentu berpotensi menimbulkan pro dan kontra di kalangan peserta Liga 1 2021. Format zonasi punya kelebihan dan kekurangan berdasarkan pengakuan sejumlah pelaku sepak bola nasional.
Namun, bila mengacu kepada kondisi terkini ketika Indonesia tengah dilanda pandemi virus corona, PSSI diharuskan menerapkan protokol kesehatan yang ketat.
Salah satu item dalam protokol kesehatan 3M yang terus dikampanyekan pemerintah yaitu menjaga jarak. Penerapan format zonasi secara tidak langsung mengakomodasi sekaligus mendukung gerakan ini.
Artinya, penggunaan model dua wilayah adalah opsi yang memungkinkan untuk dilakukan dalam kondisi pandemi seperti sekarang, bahkan bisa menjadi solusi. Klub-klub terpusat di kawasan mereka masing-masing sehingga angka penularan virus corona bisa ditekan.
Berkaca dari sejarah, Liga Indonesia justru mengawali era profesional pasca-peleburan Perserikatan-Galatama dengan memutar kompetisi yang menerapkan model zonasi, tepatnya dua wilayah (Barat dan Timur) pada 1994-1995.
INDOSPORT merangkum musim-musim di mana Liga Indonesia memakai format pembagian wilayah. Setelah sebelumnya membahas dekade 1990-an, kini giliran era 2000-an.
Liga Indonesia Bank Mandiri (LIBM) dan Liga Djarum Indonesia (LDI)
Pergantian milenium membawa berkah kepada Liga Indonesia (kala itu dikenal dengan sebutan Divisi Utama). Bank Mandiri yang belum lama terbentuk pasca-reformasi 1998 menjadi sponsor utama kompetisi selama lima musim (2000-2004).
Uniknya, LIBM tak seluruhnya menggunakan format dua wilayah. Anomali terjadi pada edisi 2003 dan 2004 yang menyatukan klub-klub Indonesia dalam satu wadah besar, masing-masing dijuarai oleh Persik Kediri dan Persebaya Surabaya.
Tiga musim lainnya mempertahankan tradisi model zonasi dua wilayah, yaitu 1999-2000, 2001, dan 2002. Di sinilah klub-klub non-Jawa mulai unjuk kebolehan.
Di era 1990-an, kompetisi era profesional pasca-peleburan Perserikatan (1930-1994) dan Galatama (1979-1994) didominasi klub Jawa, mulai dari Persib Bandung (1994-1995), Bandung Raya (1995-1996), Persebaya Surabaya (1996-1997), dan PSIS Semarang (1998-1999).
Bila dilihat sedikit lebih luas, finalisnya juga hampir semua berasal dari Pulau Jawa, kecuali PSM Makassar (1995-1996). Sisanya Petrokimia Putra (1994-1995), Bandung Raya (1996-1997), dan Persebaya (1998-1999).
Memasuki dekade 2000-an, klub-klub Jawa harus mengakui kehebatan PSM Makassar saat menjuarai LIBM 1999-2000. Mereka mengalahkan PKT Bontang dengan skor 3-2 dalam pertandingan final di Stadion Utama Senayan.
Berselang semusim kemudian, Persija Jakarta mengharumkan nama ibu kota negara berkat keberhasilan menjuarai LIBM 2001. Bambang Pamungkas dkk. menggagalkan ambisi back-to-back PSM di final (3-2).
Lanjut ke edisi 2002, trofi Liga Indonesia kembali ke Jawa Timur usai Petrokimia Putra memastikan gelar juara. Widodo C. Putro cs. menekuk Persita Tangerang dengan skor 2-1, meskipun harus berpeluh lebih lama sampai extra time lantaran bermain imbang 1-1 di waktu normal.
Setelah dua musim terakhir LIBM menggunakan model satu wilayah, Liga Indonesia kembali ke pakem lama ketika Djarum mengambil alih peran sponsor utama pada 2005.
Total Djarum menjadi sponsor utama era Divisi Utama selama tiga musim (2005-2008) yang seluruhnya menerapkan format zonasi dua wilayah. Dua dari tiga juaranya berasal dari luar Jawa.
Persipura Jayapura menjuarai Liga Djarum Indonesia (LDI) 2005 berkat kemenangan tipis 3-2 atas Persija Jakarta di final yang berlangsung di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK).
Setahun berselang, Persik Kediri merengkuh gelar keduanya setelah 2003. Pasukan Daniel Roekito mengalahkan PSIS Semarang 1-0 lewat gol semata wayang Cristian Gonzalez.
Era Divisi Utama ditutup dengan dominasi klub non-Jawa. Sriwijaya FC menjuarai edisi 2007-2008 dan mengklaim trofi usai membungkan sesama wakil Sumatra, PSMS Medan, dengan skor meyakinkan 3-1.
Bila ditotal, Liga Indonesia era 2000-an yang menerapkan format zonasi berjumlah enam musim. Separuhnya dimenangi oleh klub non-Jawa, antara lain PSM Makassar (2000), Persipura Jayapura (2005), dan Sriwijaya FC (2008)
Uniknya, musim pertama dan terakhir sama-sama memunculkan final non-Jawa, yakni PSM Makassar versus PKT Bontang (2000) dan Sriwijaya FC kontra PSMS Medan (2008). Mereka mulai 'memberontak' dan mengungguli klub-klub Jawa.
Begitulah kira-kira sepenggal cerita tentang Liga Indonesia yang menerapkan model zonasi alias pembagian wilayah dekade 2000-an. Nantikan pembahasan INDOSPORT selanjutnya mengenai era 2010-an.