Pro dan Kontra Liga Super Eropa, Egoisme Klub Korbankan Mimpi Pemain
FOOTBALL265.COM - Pro dan kontra seputar pembentukan Liga Super Eropa makin memanas, namun di antara semuanya para pemain di dalamnyalah yang paling menjadi korban.
Gonjang-ganjing terjadi di persepakbolaan Eropa. Sebanyak 12 klub elite benua biru sepakat membentuk Liga Super Eropa atau European Super League (ESL) sebagai tandingan Liga Champions milik UEFA.
Gagasan Liga Super Eropa gaungnya kian santer sejak beredarnya informasi per Minggu (18/04/21) di mana belasan tim elite Eropa akan mendeklarasikan bergabung dengan kompetisi ini.
Gagasan yang membuat UEFA kebakaran jenggot ini diduga diinisiasi oleh Andrea Agnelli selaku presiden Juventus. Ide tersebut nyatanya diterima oleh sebagian besar klub-klub elit Eropa lainnya.
Ke-12 tim ini adalah Real Madrid, Juventus, Barcelona, Manchester United, Liverpool, Chelsea, Arsenal, Atletico Madrid, Inter Milan, Manchester City, Tottenham Hotspur, dan AC Milan.
Meski dideklarasikan pada menjelang musim panas 2021, faktanya rencana pendirian ESL sudah tercetus bertahun-tahun lalu. Adalah sosok Florentino Perez (presiden Real Madrid) yang dikabarkan mengingini kompetisi semacam ini pada 2009 silam.
"Kami sudah menyepakati European Super League terbaru yang menjamin bahwa yang terbaik akan selalu bermain melawan yang terbaik - itu tidak terjadi di Liga Champions," kata Perez ketika itu kepada The Telegraph.
Sebagai informasi, Liga Super Eropa terbentuk lantaran sejumlah besar klub raksasa Eropa (12 tim yang disebutkan tadi dan kini dianggap sebagai pendiri European Super League) percaya bahwa format Liga Champions saat ini masih dianggap kurang menguntungkan.
Florentino Perez mengklaim pendirian ESL adalah usaha untuk menyelamatkan sepak bola. "Ketika saya mengatakan menyelamatkan sepak bola, saya bermaksud menyelamatkan semua orang, sehingga selama 20 tahun ke depan setidaknya kita bisa hidup damai. Situasinya sangat dramatis. Kami yakin format ini bisa menyelamatkan sepak bola, seperti Piala Eropa menyelamatkan sepak bola pada 50-an," demikian ujarnya.
Florentino Perez menilai apabila klub tidak bisa mendapatkan penghasilan selain dari uang siaran televisi, maka cara terbaik untuk meningkatkan pendapatan adalah dengan berlaga di pertandingan yang menarik yang dapat disaksikan jutaan penggemar di dunia.
Perez meyakini bahwa Liga Super Eropa adalah wadah yang tepat untuk mewujudkan hal tersebut. Meski begitu, pernyataan dari Perez ini dianggap egois oleh banyak pihak.
Bagaimana tidak, membawa embel-embel 'menyelamatkan sepak bola dunia' tetapi fakta yang ada adalah belasan klub hanya mencari keuntungan untuk mereka sendiri. Ratusan juta euro masuk ke kantong klub-klub besar yang akhirnya melebarkan kesenjangan dengan klub-klub kecil.
Sisi kompetitif pun juga menghilang setelah tidak adanya sistem promosi-degradasi serta status 15 tim pendiri yang tidak bisa diganggu gugat. Tak peduli apakah performa tim tengah anjlok, mereka yang menjadi pendiri Liga Super tetap berada di kompetisi 'paling bergengsi' itu.
UEFA sendiri menyadari hal tersebut. Meski mereka juga mendapat banyak serangan karena lapuknya manajemen sepak bola di Eropa, UEFA tetap dengan yakin menjatuhkan hukuman berat kepada mereka yang terlibat di Liga Super Eropa.
1. Egoisme Klub Korbankan Mimpi Pemain
Bruno Fernandes menjadi pemain Manchester United pertama yang secara terbuka menanggapi wacana kompetisi baru bernama European Super League (ESL) atau Liga Super Eropa.
Belum lama ini Bruno Fernandes akhirnya mengungkapkan pendapatnya melalui postingan di instastory Instagram.
Dalam postingan tersebut, Fernandes me-repost postingan Daniel Podence di Instagram dengan membubuhkan kalimat "Mimpi tidak bisa dibeli".
Sebelumnya, mantan gelandang MU yakni Ander Herrera juga sudah menyampaikan komentarnya terkait pelaksanaan Liga Super Eropa. Namun Ander Herrera kini membela PSG yang tidak ambil bagian dalam Liga Super Eropa.
"Jika Liga Super Eropa ini maju, maka mimpi-mimpi itu akan berakhir. Ilusi para penggemar tim yang bukan raksasa untuk bisa menang di lapangan akan bersaing dengan tim yang selalu jadi terbaik di kompetisi," demikian tulis Ander Herrera.
Keluh kesah para pemain ini diyakini masih tahap awal. Seiring berjalannya waktu, akan banyak pemain yang bersuara.
Bagaimana tidak, para pemain dipaksa harus menggantungkan mimpi mereka. UEFA dengan tegas menyatakan bahwa para klub yang telah keluar dari Asosiasi Klub-klub Eropa (ECA) tidak akan bisa bermain di Liga Champions.
Tak cuma itu, FIFA dan UEFA sepakat bahwa para pemain yang terlibat di dalam laga Liga Super Europa dilarang ikut Piala Eropa dan Piala Dunia. Sanksi ini tentu berat dari denda apapun.
Bayangkan, para pemain yang memulai karier sepak bola dengan bermodalkan mimpi untuk membela tim nasional di Piala Dunia kini harus menguburnya rapat-rapat selama mereka masih memperkuat klub-klub peserta Liga Super Eropa.
Rasanya bak sebuah 'kejahatan' untuk mengorbankan Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi agar tak tampil di Piala Dunia terakhir mereka. Tak terhitung pula pemain-pemain lainnya yang terancam tidak bisa mewujudkan mimpi bermain di Liga Champions Eropa.
Para pemain muda AC Milan misalnya. Selama dua tahun mereka berjuang untuk membawa tim lolos ke kompetisi paling elite di Eropa, namun ketika mimpi itu tinggal selangkah lagi terwujud, klub memilih mengkhianatinya.
Federasi sepak bola tiap negara pun diyakini tidak akan tinggal diam. Terutama negara-negara besar seperti Italia, Inggris, dan Spanyol yang mayoritas pemainnya berada di antara klub peserta ESL.
Florentino Perez sendiri dengan percaya diri menyebut deretan ultimatum UEFA sebagai sebuah omong kosong semata. Namun, justru sikap Florentino Perez itulah yang membuat dirinya semakin egois dan arogan.
Entah akan dibawa ke arah mana konflik antara Liga Super Eropa (European Super League) vs UEFA. Yang jelas, persoalan ini bisa menemukan titik terang jika para pemain di dalam 12 tim sepakat bersuara dan melayangkan keberatan.